"Ruangannya di mana sih?" tanya Kania yang masih duduk di kursi roda, ia kini di dorong oleh Kemal karena Ella dan Yola sibuk mengecek ponsel masing-masing.
"Bentar, tunggu gue lupa."
"Samaaa, namanya susah njir." Yola menggaruk kepalanya sambil terus mengamati layar ponsel. Kania mendengus, "kenapa bisa lupa sih? Gila emang lo pada."
"Sssttt ... biar sengklek gitu juga temen lo," sahut Kemal.
Kania celingak-celinguk mencari dua orang lain yang tadi juga bersama mereka. Siapa lagi kalau bukan si rusuh nan nyebelin, Dafa dan Mario. "Ke mana tuh dua kutu? Mau cari penyakit di sini?"
"Anjir lah cari penyakit lo kata mereka mau penelitian apa," kekeh Ella seraya menunjukan sebuah tangkapan layar dari ponselnya. "Kamar Amarillys nomor 92."
***
Mereka buru-buru menyusuri lorong-lorong rumah sakit sembari terus mengamati papan kayu yang bertuliskan angka di sudut pintu kamar. Ketika sampai di depan ruang 92, mereka saling melirik satu sama lain.
"Bener kan ini ruangannya? Gue nggak mau ya kalau nanti sampai salah ruangan, malunya setengah jidat!" ujar Kania.
"Heh bukannya malunya setengah mati ya?" koreksi Yola.
"Bener kok, lagian juga gue pernah nengok ke sini sama nih orang!" Ella menunjuk Yola.
Pintu terbuka, menampilkan beberapa orang yang ada di dalam ruangan. Seorang gadis tergolek lemas di atas ranjang dengan infus yang masih menancap di tangannya. Gadis itu adalah Niar, yang beberapa hari lalu turut menjadi korban kekejaman Fauzan.
"NIAR!!!!" Yola sudah histeris duluan. Ella buru-buru menutup mulut Yola dengan kedua tangannya. "Astaga Yolaaa ini tuh rumah sakit bukan jalanan!"
"Assalamualaikum, permisi Tante, Om." Kemal berjalan lebih dulu dengan mendorong Kania, meninggalkan dua gadis aneh di belakangnya.
Papa Niar menyambut kedatangan anak-anak itu dengan baik. Lain hal dengan istrinya yang kini memandang sinis sosok Kemal dan Kania. Melihat anak-anak itu datang ke rumah sakit malah semakin menambah sakit hati Tante Irma, Mamanya Niar.
"Silakan duduk Nak," ucap Papa Niar sambil menarik sebuah kursi yang ditujukan pada Kemal.
Ella dan Yola berlarian masuk, mereka menyalami Papa dan Mama Niar lebih dulu. "Hai Tanteee ... hai Ommm ..."
"Ella, jadi kamu nekat membawa trouble maker itu ke sini?" Tante Irma berdecih, "untuk apalagi? Memangnya dia masih peduli dengan Niar?"
"Mungkin ini terakhir kalian berteman dengan Niar, setelah itu saya tidak mau anak saya bergaul dengan sampah masyarakat seperti kalian."
"Tante ..." Ella menatap Tante Irma lekat-lekat, seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan Tante Irma barusan.
"Saya sudah percaya dengan orang yang salah ternyata," gumam Tante Irma sambil menyeka air matanya. Papanya Niar menghampiri Tante Irma, "sudahlah Ma, kok Mama malah nyalahin anak-anak itu sih."
Kania yang mendengar itu hanya bisa menundukkan kepala. Ini belum saatnya ia melakukan perlawanan. Kania tidak salah kok, Kania merasa ini bukan salahnya. Kania tidak pernah kan meminta Niar untuk menolongnya? Lagipula bukan ia yang menembak Niar waktu itu, jadi untuk apa ia harus merasa bersalah?
"Ini anak kita satu-satunya lho Pa. Apalagi dia anak perempuan, sejak awal kan sudah Mama bilang mending Niar dititipkan saja ke Eyangnya di Semarang, mungkin saja dia bisa jadi lebih baik."
"Tante kami benar-benar minta maaf," Kemal menyahut.
"Maaf? Maaf katamu? Lihat temanmu satu ini! Lihat!" Tante Irma yang mulai bercucuran air mata menunjuk Niar yang kini tengah terpejam.
"Ini semua gara-gara gadis ini!"
Semua mata tertuju pada Kania.
"Untuk apa kamu terus menundukkan kepala hah?! Seharusnya kamu yang ada di atas ranjang ini bukan Niar!!!" bentak Tante Irma pada Kania.
"Kalau begitu apa Tante siap melihat Niar duduk di kursi roda ini?" ucap Kania santai, tanpa dosa, dan tanpa bersalah, sedikitpun.
"Dasar nggak tau diri kamu! Sudah baik saya masih menerima kamu di sini, bertemu dengan Niar pula! Saya nggak akan segan-segan menuntut kamu dan keluargamu jika terjadi hal buruk pada Niar!!!!"
"Kania," Kemal menarik kursi roda gadis itu menjauh dari Tante Irma.
"Tapi itu bukan kesalahan saya Tante!" Kania mengeraskan volume bicaranya.
"Lalu? Siapa lagi jika bukan kamu biang keroknya?!"
"Saya gak pernah minta Niar buat nolongin saya waktu itu, saya bahkan gak tau rencana mereka. Kenapa lagi-lagi saya yang harus disalahkan atas semua yang terjadi sih!!!"
"Kania udah cukup!!!" teriak Ella sembari menghentakkan kakinya. "Lebih baik kita pergi aja, daripada tambah runyam masalahnya, ayo!!!"
Ella melesat pergi dengan air mata yang menetes di pipinya. Yola berjalan ke arah Niar yang belum sadarkan diri, "Niar, gue balik dulu ya. Semoga lo cepet sadar sobat sengklekku, dadahhh."
"Om, Tante, kami--"
"Silakan kalian pergi dari sini."
"Ma, jangan gitu ah, kasihan." tegur Papa Niar.
"Persetan dengan itu Pa, yang terpenting adalah Niar!"
Kania diam membisu. Kemal mendorong kursi rodanya menuju pintu, Kania sempat menoleh sedikit melihat ke arah ranjang tempat Niar terbaring. Ia memejamkan mata, bayangan peristiwa mengerikan itu kembali melintas dalam ingatannya.
Semoga lekas membaik semuanya.
***
Duh aku lupa nama cast-nya Kemal nih huhuu :(
Tau deh aku pasang foto cogan random aja wkwk
Terima kasih sudah membaca ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cool Daddy
Dla nastolatków[ BUKAN CERITA DEWASA! ALUR MAJU-MUNDUR & FULL DRAMA! ] "Papa Aldan! Di sini haram ya kalau senyum-senyum sama orang yang nggak dikenal!" "Memang ya, pesona laki-laki dewasa nggak ada duanya." Jika banyak cerita tentang cool boy yang menjadi idola c...