Tiga Puluh Enam - Kepulangan

900 82 84
                                    

Sebentar lagi aku fokus ngerjain naskah GMG Challenge & sibuk sama ujian jadi agak maraton ngetik MCD-nya.

Cepetin tamat gak nih?

Ada sequelnya gak yaa?

***

"Sejauh apapun aku pergi, aku ingin menjadi satu-satunya rindu yang kamu pendam."
-My Cool Daddy

***

Aldan membuka matanya. Pertama kali objek yang ia lihat hanyalah langit-langit rumah sederhana. Di sana hanya ada susunan kayu yang langsung mengekspos genteng berwarna coklat tua. Ruangan itu remang-remang. Sepasang lampu bohlam berwarna kuning dipasang sejajar di dekat pintu kayu.

"Ahhh," erangan seorang papa tampan itu terdengar berat. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh inci tubuhnya. Di sana ada beberapa luka menyebar yang menyebabkan nyeri ketika ia bergerak terlalu banyak.

"Sharena."

Kriettt.

Pintu kayu itu mengeluarkan suara ketika seseorang membukanya, terlihat seorang gadis melongok ke dalam, memastikan apa laki-laki yang ditolong keluarganya itu sudah sadar.

"Bapak, Ibu, orangnya sudah melek sinii ..."

(*melek : membuka mata)

Aldan menoleh ke arah sumber suara, gadis itu tersenyum dan membuka pintu lebih lebar lagi.

"Mas, jangan banyak gerak ya nanti obat merahnya mbleber ke mana-mana," tegur seorang bapak yang tiba-tiba datang dari belakang.

"Bu cepetan makanannya, kasihan si Mas-nya ini lho!"

Pak Ito mendekati Aldan, melihat luka yang ada di lengan kiri Aldan dan membetulkan letak bantalnya. "Mas, sementara waktu di sini dulu ya? Maaf rumah saya jelek, daripada Mas-nya di hutan sendirian, saya nggak tega."

Aldan tertegun mendengar suara Pak Ito, ia sampai menyernyitkan kening. "Hu ... hutan?"

"Pak, ini loh makanannya," ucap seorang ibu yang kini masuk membawa sepiring nasi dan segelas air putih.

"Oh iya perkenalkan nama saya Ito, panggil saja Pak Ito, Mas. Ini istri saya, Ina. Dan ini Cici ..." Pak Ito menunjuk satu-persatu keluarganya. Mereka semua tampak ramah, tersenyum pada Aldan.

"Mas sendiri siapa namanya? Kenapa bisa sampai ke hutan itu? Dan ... dari mana Mas ini berasal?" tanya Yu Ina yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Pak Ito. "Ibu ini gimana sih, wong baru sadar kok udah ditanyain macem-macem."

"Nama saya Aldan, Pak, Bu."

Mereka semua menoleh ke arah Aldan. Laki-laki itu tersenyum tipis, "saya ini salah satu korban selamat karena ledakan bom di rumah tua di daerah Marinka."

"Astagfirullah ... beneran bom? Daerah Marinka perbatasan kota? Itu jauh banget dari sini Mas," decak Yu Ina.

"Sudah, sudah ... Mas Aldan mending makan dulu ya? Maaf saya cuma bisa ngasih seadanya, maklum orang desa, Mas." Pak Ito mengulurkan sebuah piring berisi nasi, sambal goreng dan sepotong ikan pindang.

"Nggak apa-apa Pak, malah saya bersyukur bisa bertemu Pak Ito dan keluarga. Terima kasih Pak."

Aldan kemudian makan dengan lahap, menyisakan senyum bahagia di bibir Pak Ito dan keluarganya. Untung saja Aldan tidak menuntut macam-macam, ia benar-benar orang baik.

"Eh iya Pak Ito," Aldan menghentikan ucapannya sejenak karena minum air. "Saya boleh minta tolong lagi?"

"Apa itu Mas?"

"Bisa antar saya pulang? Rumah saya di daerah Unit Blok C, nanti semua ongkos saya tanggung, Pak."

Pak Ito dan Yu Ina saling berpandangan, Cici yang berdiri di depan pintu pun sadar bila Unit Blok C adalah salah satu area perumahan mewah di kota mereka.

***

Pagi-pagi sekali Aldan dengar bila Pak Ito meminjam mobil pick up milik juragan sawah di desa itu, Aldan sebenarnya kasihan dengan Pak Ito karena harus membayar uang sewa, padahal bila diantar naik motor pun tidak masalah. Tapi kata Pak Ito, ia tidak mau Aldan kelelahan karena menempuh perjalanan jauh.

"Pak, saya beneran gak masalah kalau harus naik motor. Kita kan bisa gantian duduknya."

"Nggak apa-apa Mas, saya cuma mau menolong Mas Aldan dengan ikhlas. Tanpa pamrih, Mas. Sudah seharusnya saya melakukan ini."

Aldan tersenyum mendengarnya, sebelum itu ia berpamitan dengan Yu Ina dan Cici. Karena bisa menyentuh tangan Aldan yang tampan, Cici sampai salah tingkah sendiri.

Hal yang sudah biasa bagi Aldan, di luar sudah banyak warga desa yang berkumpul. Khususnya ibu-ibu dan gadis-gadis muda. Mereka ingin melihat ketampanan Aldan yang dibilang mirip bintang film. Padahal sebenarnya Aldan lebih mirip sama Shawn Mendes.

"Aduh Gusti ... beneran ora ngapusi gantenge no tipu-tipu!"

(*ora ngapusi : nggak berbohong)

"Mas gantenggg boleh minta foto ndak?"

"Mas, aku siap jadi istri idaman loh!"

"Mas ..."

"Mas ganteng ..."

Aldan buru-buru ditarik Pak Ito menuju mobil, ia hanya tersenyum simpul menanggapi itu semua. Apalagi sekarang Pak Ito mengusir kumpulan wanita-wanita haus kasih sayang itu.

"Maaf sudah buat Mas Aldan gak nyaman, kita berangkat sekarang Mas."

"Baik Pak, bismillahirrahmanirrahim."

Mobil melaju, dada Aldan berdebar. Ia sama sekali tidak menyangka hari itu akan tiba. Ia akan kembali bertemu dengan keluarganya. Aldan berterima kasih pada Tuhan, Pak Ito dan dirinya sendiri.

Terima kasih sudah bertahan hingga sejauh ini. Hidupmu berharga, Aldan.

***

Hayo siapa yang sudah baca secret part?
Pasti gak bingung deh sama bagian ini, hehe.

Terima kasih sudah membaca^^

My Cool DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang