Tiga Puluh Empat - Pemakaman

926 117 145
                                    

"Sejahat apapun ia memperlakukanmu, tanpanya kamu tidak pernah ada di dunia. Percayalah, ia adalah ayah terbaik di sudut pandang yang berbeda."
-My Cool Daddy

***

Selasa pagi, tanah merah di area pemakaman itu masih basah. Untung saja pagi ini cuaca cukup cerah. Terdengar beberapa suara burung bersahutan, terbang ke sana-kemari tanpa mengetahui hal apa yang sedang terjadi di bumi.

"Ma?" sapuan lembut tangan seorang gadis berhenti di pundak Sharena. "Mama baik-baik aja kan?"

Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, ibu dua anak itu memeluk putri bungsunya. "Ikhlaskan Papa, Ma."

Sharena mengangguk, "ini sudah takdirnya, semoga Tuhan menerimanya di tempat yang terbaik."

Setelah itu mereka berdua turun dari dalam mobil. Di luar sudah banyak orang dan ada beberapa karangan bunga di depan area pemakaman. Ada juga perwakilan polisi yang sejak awal mengurus kasus bom di rumah Fauzan. Entah harus senang atau sedih, tapi yang jelas semuanya sedang berduka pagi itu.

Kania masih duduk di kursi roda yang didorong oleh Ella, disamping mereka ada Yola, Kemal, Dafa, dan Mario. Niar masih ada di rumah sakit karena luka tembakannya cukup parah, tapi untungnya tidak sampai membuat gadis malang itu tewas.

"Yes akhirnya Om-om jahat itu mati, kita harus rayain kematian Om Fauzan nih. Barbekyu-an enak nih?!" Yola menyeletuk.

"Bener-bener gila nih anak, kalau ada orang mati tuh di doain, bukannya dirayain bego!" kekeh Mario yang langsung dibalas anggukan oleh Dafa.

"Ya kan Yola emang gak pernah bener dari dulu," sahut Kania gusar. Ia beberapa kali harus mengusap butir-butir air yang menetes di sudut matanya.

"Nia?" Ella mengelus pundak sahabatnya itu, "lo baik-baik aja kan?"

"Ihhh apaan sih gue bener dong kalau Om Fauzan tuh--"

"Ssssttt!!!!" Kemal dan Ella sontak langsung membungkam mulut Yola dan meredam suaranya. "Nggak punya etika lo!"

"Hikss ... hikss ...." terdengar suara isak tangis Kania, seluruh pasang mata kini mengarah kepadanya. "Papa Fauzan kenapa cepet banget sih matinya?!"

"Om Fauzan pasti udah tenang di sana Nia," ucap Ella sembari mengusap pundak Kania lembut. "Ikhlasin apa yang udah terjadi, lo doain Om Fauzan ya? Meskipun ..." ucapan Ella terjeda.

Yola, Kemal, Dafa dan Mario menatap Ella bersamaan.

"Iya meskipun Papa jahat sama gue, sama keluarga gue dan sama kalian semua kan?!"

"Kok bisa Om Fauzan tewas sih, Nia? Terus di mana Om Aldan sekarang?" tanya Ella penasaran.

"Gue masih nggak tau di mana Papa Aldan sekarang, tapi Papa Fauzan tewas di dekat  rumah itu," Kania menangkupkan kedua wajahnya. "Papa Fauzan tewas dengan anak buahnya yang gue kira Papa Aldan waktu itu."

***

Terdengar suara sirine ambulans, jenazah Fauzan diturunkan dari peti mati karena jasadnya beberapa sudah hancur. Keluarganya seperti Sharena, Kania dan Seruni tentu tidak bisa memeluk atau memandangi wajah Fauzan lebih lama lagi, itu karena jasad Fauzan memang hampir tak bisa dikenali.

 Keluarganya seperti Sharena, Kania dan Seruni tentu tidak bisa memeluk atau memandangi wajah Fauzan lebih lama lagi, itu karena jasad Fauzan memang hampir tak bisa dikenali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kania terus-menerus menundukkan kepala selama pemakaman. Satu-persatu ingatan tentang kebersamaan keluarganya saat masih utuh dulu mulai terlintas. Ketika Papa Fauzan masih menjadi sosok ayah yang sempurna.

"Papa Fauzan, Papa ..." Seruni hampir tidak bisa menghentikan isak tangisnya. Disampingnya ada Sharena yang juga tak berhenti mengeluarkan air mata.

Suasana begitu haru dan pilu. Apalagi saat peti mati itu mulai tertutup rata dengan tanah. Hati Kania benar-benar serasa diiris-iris. Kemarin ia mengira bahwa Papa Fauzan yang akan datang ke tempat peristirahatan terakhirnya, namun nyatanya? Takdir berkata lain, Papa Fauzan lah yang lebih dulu menjemput ajal, bukan dirinya.

"Selamat tinggal Pa ..." ucap Kania dalam hati.

Setelah semua selesai, Kania tidak langsung pulang. Ia bersama Ella, Yola, Kemal, Dafa dan Mario langsung menuju  rumah sakit tempat Niar dirawat. Sedangkan Sharena dan Seruni lebih dulu pulang karena Sharena sedang hamil, ia perlu banyak istirahat.

"Btw, gimana kabar Bu Anis? Masih nyebelin kayak dulu nggak sih?"

"Dih kalau wali kelas satu itu mah sekarang kerjaannya cuma bengong, terus masih suka marah-marah dong! Kayaknya dia kangen deh sama Om Aldan, hahahaha."

"Lah anjir lagi-lagi Papa Aldan, yang lain kenapa sih? Si Dafa tuh, Kakak lo kan jomblo kenapa nggak lo kenalin aja sama Bu Anis si JONIT!" ketus Kania.

"Jonit apaan sih?" tanya Dafa dengan raut wajah lucu. Semuanya menggeleng, menanti Kania mengucapkan jawabannya. "Jonit tuh JOMBLO GENIT! Salah siapa Bu Anis tuh suka genit-genit sama laki orang, cakor banget sih tuh guru!"

"Cakor tuh yang di kakinya ayam ya?" tanya Yola kikuk.

"Hah?" semua pada berpandangan bingung kecuali Kemal yang langsung menyahut, "goblok itu mah ceker namanya!"

Semua tergelak, termasuk sopir keluarga Kemal yang sedang menyetir mobil. "Ssstt ... lo semua gimana sih kok malah pada ngegibah, nggak boleh dong dosa!" tegur Mario.

"Halah lo ngomongin dosa, lo aja disuruh bayar buku harganya sepuluh ribu bilangnya dua puluh ribu, apaan!"

"Eh anjir aib dong, aibb!"

"Hahaha Mario goblok," tawa Kania.

"Gila gak tuh kecil-kecil udah jadi koruptor? Orang kayak gini nih yang harusnya diberantas habis dari bumi Indonesia," kata Dafa sambil mengelus-elus puncak kepala Mario.

"Kalian kenapa jadi sok bener gini sih? Ntar juga kumat lagi gilanya, apalagi kalau udah ketemu sama Bu Anis!"

"Duh, gue jadi kangen sama guru satu itu. Ya meskipun nyebelin, tapi ...."

"Tapi apa Nia?"

"Tapi ngata-ngatain Bu Anis tuh kayak ada mantap-mantapnya!"

***

Gimana bagian ini?

Nggak nyambung?

Ngebosenin?

Kangen gak sih sama kelakuan Kania & temen-temennya pas sama Bu Anis? Hehe

Terima kasih sudah membaca, jumpa lagi di part berikutnya yaaa :D

My Cool DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang