PROLOG

107 56 48
                                    

Gelap. Itulah yang dilihatnya. Meski dimana bulan berbentuk bulat sempurna dan terlihat dua kali lebih besar dari biasanya. Cahayanya yang tampak berkali lipat lebih terang. Bulan purnama. Meski bulan purnama, masih ada beberapa bintang yang masih bercahaya, kelap kelip dengan intensitas cahaya yang sama membuat malam itu lebih bercahaya bagi orang kebanyakan. Tetapi tidak untuknya.

Gelap. Itulah yang masih dilihatnya. Meski pemandangan kota dibawah amat menakjubkan, gemerlip lampu warna warni menghiasi kota. Amat indah. Walaupun gedung-gedung jumlahnya tidak banyak, itu cukup membuat kota terlihat hidup. Bersih. Kota itu amat bersih. Taman dimana-mana. Para penduduknya benar-benar disiplin, berbeda dengan kota lainnya. Meski kota tersebut bukan kota besar, tetapi banyak orang nyaman tinggal di kota itu. tak terkecuali dia.

Ia sedang duduk sendiri di pinggir tebing kota itu. Tak banyak orang yang tau akan tempat itu. Biasanya beberapa orang yang tau keberadaan tempat itu akan datang di atas tebing hanya ketika malam tahun baru, karena darisana mereka bisa melihat pemandangan ribuan kembang api dengan jarak lebih dekat. Tetapi berbeda untuknya, dia biasa datang ke tempat itu setiap saat.

"Jika kau sedang bahagia ataupun bersedih, datanglah ke tempat ini. Aku yakin, tempat ini akan memberimu ketenangan"

Deru angin malam itu berhembus kencang menghelai rambut hitam panjangnya yang tampak tak di rawat, udara dingin yang mampu menusuk pori-pori kulit, tak mampu membuat gentar tubuhnya. Ia memandang lurus ke depan dengan pandangan kosong. Wajahnya datar, tampak lingkaran hitam mengelilingi matanya yang telah sayu. Bibirnya terlihat pucat, kaku. Kedua tangannya menggenggam erat ujung bajunya. Kakinya yang bergelantung di atas tebing digerak-gerakkannya secara bergantian. Disampingnya terdapat tas berukuran sedang.

Dari pandangan matanya, tersirat seolah sudah tak ada harapan lagi untuknya. Seolah ia tak lagi memiliki semangat untuk menikmati hari-hari berikutnya. Seolah ia tak bisa merasakan kembali indahnya kota itu apalagi indahnya dunia. Semua itu telah hilang perlahan-lahan dari dirinya. Semuanya telah hilang, telah pergi. Meninggalkannya seorang diri. Jelas, tanpa ia meminta. Perlahan-lahan namun amat bisa dipastikan.

"Kau tahu ? kepergian seseorang yang kita cintai itu amat menyakitkan. Benar-benar manyakitkan. Lebih sakit daripada sakit gigi. Disaat seperti itu yang kau butuhkan hanyalah memakan sebatang coklat seperti kebiasaanmu selama ini. Jadi makanlah sebanyak-banyaknya. Hehe..."

"Tapi, yang paling kau butuhkan disaat seperti itu adalah pemahamanmu tentang masalah itu. Jika kau dapat menerima kepergiannya. Ikhlas. Aku bakal jamin, kenyataan atas kepergian seseorang itu akan hilang dari pikiranmu. Yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan indah bersama seseorang itu, dan itu akan membuatmu tak berlarut-larut dalam kesedihan. Jadi mulai sekarang jangan bersedih lagi."

Kata-kata itu dulu mampu membuatnya lebih bisa menerima, lebih ikhlas menerima semua kenyataan pahit, melupakan kesedihannya. Sekali, dia dapat menerima dan iklas. Dua kali, dia mencoba untuk tak bersedih dan berusaha untuk melupakannya. Tiga kali, dia berusaha keras untuk bisa tersenyum, mengatakan Aku baik-baik saja.

Tetapi sudah berapa kali semua kenyataan itu membuat hatinya tergores ? Memang kata-kata itu sudah membuatnya mampu bertahan sampai sejauh ini. Tetapi itu semua tak berlaku untuknya sekarang, hari ini, maupun hari-hari berikutnya. Dia sudah lelah menerima, lelah ikhlas, lelah tersenyum, pura-pura bahagia. Entah kenapa semua ini begitu menyiksanya. Dia lelah, amat lelah.

"Kau yang tak memperbolehkanku untuk bersedih. Lalu kau sendiri yang membuatku bersedih. Malah kau yang memulai membuatku tak mampu menerima semua kenyataan ini. Kau yang memulai semuanya."

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang