PERKELAHIAN

13 7 1
                                    

Edo hanya diam mengikuti langkah kaki Rei. Membiarkan Rei menariknya. Rei membawa Edo ke suatu tempat luas. Bisa dibilang lapangan. letaknya tak jauh dari café tadi. Sepi. Tak ada siapapun disana, hanya ada mereka berdua.

Edo terlihat linglung. Memperhatikan Rei menyalakan sebatang rokok. Rei menawarinya, Edo menggeleng. Rei menghisapnya lalu perlahan ia hembuskan ke langit, menatapnya. Mereka sama-sama diam. Sunyi. Hanya terdengar suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan.

"Lalu setelah kau mengetahuinya ? Apa yang kau lakukan ?"

Edo masih diam. "Aku meninggalkannya."

"Kau benar-benar.." Rei hendak memukul Edo lagi. Namun langsung ditangkas oleh Edo.

"Saat itu tak memungkinkan bagiku menenangkannya. Suatu hal gila telah ku lakukan." Edo menghembuskan nafas. "Waktu itu aku kehilangan kesadaran. Aku tak terima kematian kakek. Aku mabuk berat, lalu datang ke rumahnya. Kebetulan tak ada siapapun dirumahnya. Sejak awal dia tau kalau aku mabuk, tapi membiarkanku tinggal dirumahnya. Dia mempercayaiku. Namun aku mengkhianati kepercayaannya-"

DUAK!

Rei memukul Edo hingga terjatuh diatas rumput. Menarik krah baju Edo hendak memukulnya lagi. "Lalu ?!"

"Lalu dia menamparku. Kesadaranku kembali. Dia memutuskanku. Dia menangis, berkata bahwa bukan hanya aku yang mengalami kehilangan, tapi dia juga."

DUAK!

"Kau meminta maaf ?!"

"Aku bertanya mengapa dia baru bilang sekarang ?"

DUAK!

"Dia tak ingin melihatmu sedih bodoh! Kau. Kau sungguh keterlaluan! Jika aku tau kau sepayah ini, aku tak akan mempercayaimu untuk menjaganya."

Edo mengangguk. "Memang. Aku bodoh. Aku tak bisa memahaminya, aku tak pantas berada disisinya. Pukuli saja aku Rei."

"Dengan senang hati." Rei tersenyum sinis.

Rei memukuli Edo hingga babak belur. Darah mengalir dari pelipis dan mulut Edo. Matanya bengkak. Bagaimana pun Rei adalah atlet bela diri, meskipun tubuh Edo terlihat lebih besar ketimbang Rei. Melawan pun, Edo tak akan mungkin menang. Edo tetap diam. Membiarkan Rei memukulinya.

"Setelah itu kau meninggalkannya dengan pergi ke kota ini ?"

Edo mengangguk lemah. Mengusap darah yang mengalir dari bibirnya.

"Sampah kau!" Umpat Rei.

DUAK!

"Rei ingatlah bahwa kau juga meninggalkan Ina."

Rei diam. Tertegun. Tangannya yang hendak memukul Edo terhenti.

"Malam itu. Sebenarnya aku melihat kalian. Saat dimana Ina memohon padamu untuk tetap tinggal. Tetapi kau mengabaikannya. Kejam sekali, dirimu."

"Diam-"

DUAK!

Edo memukul Rei. Pukulannya tak seberapa jika dibandingkan dengan pukulan Rei. Tetapi mampu membuat Rei tumbang. Entah karena pukulan Edo barusan atau karena kata-kata Edo yang membuat Rei kehilangan fokus.

"Kau juga pantas mendapat hukuman, sialan kau."

Edo tumbang. Kakinya tak kuat lagi menopang tubuhnya. Dia jatuh terlentang diatas rumput lapangan. Menatap langit. "Rei, kehilangan sesuatu yang telah lama bersamamu sebelumnya, akan membuatmu merasa hampa. Kau pasti paham akan hal itu."

"Berisik!" Rei beranjak pergi.

Dia meninggalkan Edo sendiri di lapangan. Edo mengatur nafas. Dia kesusahan bangun. Seharusnya dia masih bisa berdiri, Rei hanya menyerang di bagian muka saja.

Edo tersenyum. "Bagaimanapun aku tau sifat aslimu." Edo menatap punggung Rei yang hampir hilang di tikungan. "Jaga dia baik-baik, Rei."

Dengan susah payah Edo bangun, berjalan. Pulang. Orang-orang dijalan menatapnya dengan tatapan prihatin, tetapi tak ada satupun yang menolongnya. Kebetulan tempat tinggalnya tak jauh, jadi dia memutuskan untuk tak memanggil taksi.

"Edo."

Terdengar suara dari kejauhan memanggilnya. Edo menoleh. Seseorang itu langsung menghampirinya. Memapahnya. Membantunya berjalan.

"Kenapa kau sampai babak belur begini ? Biar aku obati."

Edo meringis menahan lukanya. "Tak usah repot-repot, Tiara."

***

"Halo mbak Mina ?"

"Iya ada apa non ?"

Ina diam sejenak. "Tentang tawaran itu aku menerimanya."

"Syukurlah non. Mbak Mina senang mendengarnya, mulai sekarang non jangan sedih-sedih lagi. Disini banyak remaja seumuran non. Kota disini juga tak jauh beda dari kota disana non. Hanya saja disini lebih panas, karena banyak pantai. Dekat dengan laut. Eh non, non baik-baik saja kan ?"

"Aku baik-baik saja."

"Tapi kenapa suara non berbeda dari biasanya ?"

"Mungkin karena aku sedang flu."

"Jaga kesehatan non. Kapan non akan berangkat ?"

Ina menghembuskan nafas pelan. "Secepatnya. Mungkin nanti malam."

"Baiklah. Mbak Mina akan tunggu. Hati-hati di jalan non"

Next part Epilog yaaa...

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang