MASA LALU

17 20 8
                                    

Kereta memasuki persawahan yang hijau seperti permadani yang tak putus-putus. Bergoyang-goyang serempak terkena hilir angin pagi. Daun-daun yang mengkilap terkena embun pagi. Di balik sawah, terdapat bukit-bukit kelabu yang tertata rapi dan rimba-rimba yang terletak jauh dipandangan yang samar-samar tertutup embun embun pagi, membuat tenang mata memandang.

Rei mencoba memandang melewati rintik-rintik embun yang melekat di cendela dan sedikit demi sedikit meleleh. Disekanya kaca jendela itu agar dia bisa melihat pemandangan lebih jelas. Dibukanya cendela kereta. Angin membelai rambut sedikit gondrongnya. Ditariknya nafas penjang-panjang, menghirup udara segar pagi sambil memejamkan mata. Lalu dia hembuskan perlahan, terlukis lengkungan senyum tanpa dia sadari.

Semalam Rei tak tidur, dia tetap terjaga. Melamun, memikirkan banyak hal. Mencari tau apakah yang dilakukannya ini benar atau salah. Apakah setelah ini dia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus membuatnya tak tenang lebih tepatnya menghantuinya setiap saat.

"Asal kau tahu, setiap hal tak mungkin murni kebaikan ataupun kejahatan. Dibalik perilaku baik pasti ada sedikit dosa, begitupula sebaliknya perilaku dosa juga menyimpan kebaikan."

Itulah salah satu kata-kata pamannya, yang sering diucapkannya pada Rei.

"Seperti halnya kau direndahkan oleh seseorang, kau pun tersinggung atas hal itu. Tentu saja kau berpikiran untuk membalasnya. Kau bertujuan untuk membungkam seseorang itu dengan kesuksesanmu kelak. Tekad kesuksesan termasuk hal kebaikan, tetapi balas dendam termasuk dosa."

"Paman jawablah semua pertanyaan menyebalkan ku ini."

***

Saat itu Rei berumur enam tahun. Saat maut merenggut nyawa kedua orang tuanya. Orang tua Rei mengalami kecelakaan. Saat mendengar kabar itu, Rei sangat terpukul, ingin rasanya memeluk orang tuanya sekali lagi sebelum mereka pergi, mengatakan "Reihan sangat sayang kalian" tapi tak bisa, kata orang-orang mayatnya tak boleh dilihat karena sudah tak berbentuk. Bahkan tak dimandikan, hanya dimasukkan dalam peti.

Rei tak sanggup membanyangkan bagaimana hebatnya kecelakaan itu. Saat itu dia sangat marah. Tak mau bicara sepatah kata pun. Pada saat jenazah orang tuanya dikebumikan pun, dia tak ikut. Tak ada air mata yang menetes di pipinya. Bukankah kalau seseorang tak dapat menangis berarti seorang itu benar-benar tersakiti ? Padahal dulunya Rei adalah anak yang selalu ceria. Sekarang, lengkungan senyumnya pun hilang.

Dimanakah dia yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya ? Dimanakah dia yang telah membuatnya jadi yatim piatu ? Dan dimanakah dia yang telah mengambil kebahagiaannya ? Bukankah seharusnya dia harus diadili ? Dimasukkan penjara saja ? Atau kalau bisa hukum mati saja ?

Itulah pertanyaan yang sering muncul dibenaknya. Meski umurnya masih anak-anak, tetapi Rei adalah anak yang berpikiran dalam dan luas. Sampai terkadang orang dewasa pun tak mengerti jalan pikirnya.

Sejak saat itu Rei terus murung, menyendiri, tak mau sekolah, tak nafsu makan. Mengurung diri dikamar. Badannya jadi kurus. Yang dia lakukan hanya memandangi foto kedua orang tuanya, mengajak tidur, memeluk, mengajak bicara dan bertanya meski tau foto itu tak pernah dapat menjawab semua pertanyaannya.

Suatu hari pamannya datang mengetuk pintu kamar, Rei sedang duduk di pinggir kasurnya, menatap jendela kamarnya yang menyajikan pemandangan kota. Meski begitu, Rei melamun.

"Paman masuk ya, pintunya tidak dikunci kan ?" Tanya Paman.

Rei sama sekali tidak menghiraukan, tak menjawab. Dia masih asyik melamun. Derit pintu terdengar, paman masuk lalu menuju tempat Rei duduk, menyentuh pundaknya.

"Mulai sekarang Reihan menjadi anak paman untuk selamanya, paman janji tak akan meninggalkanmu." Meski tersenyum, masih saja ada sisa-sisa kesedihan yang terlukis di wajah paman.

Pamannya mulai duduk di pinggir kasur bersisian dengan Rei. "Paman akan menjadi ayah Reihan yang baru."

"Tidak! Ayah tetap ayah, tak ada yang bisa menggantikan posisinya!" Suara Rei terdengar keras. "Lagipula aku tak pernah mengenalmu. Ayah tak pernah bilang kalau dia punya saudara"

"Karena paman tinggal jauh dari orang tua mu" Paman tampak menghembuskan nafas penjang. "Baiklah. Terserah kau anggap paman apa. Tetapi paman akan selalu menanggapmu seperti anak paman sendiri. Paman bertanggung jawab atas semua kebutuhanmu dan keinginanmu" Paman menghelai rambut sedikit gondrong Rei.

"Yang aku butuhkan bukan itu! yang aku inginkan bukan itu! yang aku inginkan adalah mereka kembali."

Paman menghela nafas. "Memang. Paman tak bisa mengembalikan orang tuamu. Itu adalah hal yang sangat mustahil, Reihan. Bahkan orang pintar pun tak dapat melakukan hal itu. Bahkan kalau itu bisa dilakukan maka semuanya tak akan seperti semula. Kau tau itu kan ?"

Rei tak menjawab.

"Yang hanya bisa paman lakukan adalah mengembalikan semua yang kau dapatkan dulu. Kebutuhan, kebahagiaan, keceriaanmu, bahkan kehidupanmu dulu. Paman akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuatmu lupa akan kesedihanmu sekarang."

"Lalu, paman mencoba membuatku lupa akan orang tuaku ? dan menganggap paman sebagai orang tua baruku ?" suara Rei sedikit lebih pelan dari sebelumnya.

Paman menunduk. "Tidak. Bukan seperti itu. Paman tak menyuruhmu melupakan mereka. Tetapi, barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Memeluk semua rasa sakit atau penderitaan dengan penerimaan. Penerimaan yang indah. Jadi, jika kau ingat mereka, yang kau ingat hanyalah masa-masa bahagia dengan mereka."

Rei menunduk, mulai terdengar isak tangisnya. "Tapi.. paman tak pernah mengerti. Paman tak pernah mengerti bagaimana rasanya, rasa sakitnya."

Paman menoleh, tersenyum. "Memang. Paman tak pernah mengerti, bahkan tak akan pernah. Tetapi paman tahu, paman mengerti. Bahwa dalam proses kepergian. Pihak yang ditinggalkanlah yang amat tersakiti. Karena masih berkutat di tempat yang sama dengan semua kenangan-kenangan. Rasa sakit itu tak akan pernah hilang." Paman menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan.

"Oleh karena itu, paman kesini. Paman membulatkan tekat menemuimu, masuk ke kamarmu. Bahkan kemungkinan buruk pun sempat paman pikirkan. Tetapi, paman tak mau melihatmu terus-terusan seperti ini, kau masih punya masa depan yang cerah. Dengan alasan itulah paman akhirnya berani menemuimu. Kuharap kau mengerti Reihan. Paman percaya kau adalah anak yang berbeda dari anak kebanyakan."

Paman tak lagi bicara. Diam. Rei juga masih diam, berfikir.

Rei akhirnya mengangkat kepala. "Terimakasih" Rei memeluk pamannya. "Karena telah menyayangiku."

Tanpa sadar satu tetes air mata paman menetes. Paman langsung mengusapnya karena tak ingin Rei tau. "Kau tau Reihan, dengan semua cobaan ini berarti Tuhan percaya kau bisa melewatinya. Apa kau pernah dengar kata-kata bahwa Tuhan akan memberikan berbagai cobaan untuk hamba yang disayangNya. Tuhan tak pernah menyulitkanmu tetapi sedang melatihmu untuk pantas bagi kehidupan yang lebih baik. Sadarilah itu."

Rei yang masih memeluk paman mengangguk lemah, terdengar lirih isak tangisnya.

"Paman tak memaksamu untuk ikut paman, semua keputusan ada ditanganmu. Tapi paman hanya bilang bahwa orang tua mu disana juga tak akan bahagia jika melihat anak semata wayangnya terus-terusan terpuruk dalam kesedihan." Paman melepaskan pelukan Rei, menatap wajah Rei yang sembab.

Rei tak meronta, dia balik menatap pamannya.

"Paman akan selalu percaya dan menghargai keputusanmu. Oleh karena itu paman akan tunggu hingga kapanpun kau mau memberi jawaban. Tangan paman akan selalu terbuka lebar menyambutmu."

Paman mengecup kening Rei. "Paman pergi dulu."

Rei tak mengatakan apapun. Melihat punggung lebar paman yang menjauhinya, keluar menuju pintu.

"Paman!"

Paman menoleh. "Ya ?"

"Tunggu aku. Aku akan kemasi barang-barangku sekarang."

Paman tersenyum, bahagia, meski seberkas kesedihan masih tersirat di wajahnya. "Cepatlah"

***

Update part setiap hari ^^

Jangan lupa kasih vote sama comment yaa Readers

Next part 'Sebuah Surat'

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang