KEPUTUSAN

8 5 1
                                    

"Ina kau baik-baik saja kan ?"

Ina mengangguk.

"Kalau kau mau cerita, panggil aku saja kapanpun. Aku akan segera dating"

"Iya makasih Edo"

Dua hari telah berlalu sejak hari paling menyakitkan bagi Ina terjadi. Saat itu, Ina kembali ke hotel dengan keadaan mata sembab. Dia memutuskan tidur. Melarikan diri. Setelah itu Edo membangunkan Ina, dia bilang mereka harus segera pulang secepatnya. Kata Edo, kakek terjatuh dari motor. Masuk rumah sakit. Edo terlihat sangat khawatir. Jadi, Ina memutuskan tak bercerita padanya tentang mama.

Setelah sampai di kota asal, mereka langsung menuju rumah sakit. Syukurlah. Dokter bilang tak ada luka serius pada kakek. Hanya saja kakek harus menjalani rawat inap selama seminggu kedepan. Edo menghembuskan nafas. Lega.

Sama seperti Rei. Edo adalah anak yatim piatu. Dia dirawat oleh kakeknya sejak umur dua tahun. Ikatan antara mereka begitu kuat. Edo sangat menyayangi kakeknya. Hanya kakek satu-satunya keluarga yang Edo punya. Dia benar-benar tak bisa membayangkan jika ditinggal oleh kakek. Mengingat umur kakek sudah diatas umur kakek-kakek kebanyakan.

Ina berencana merahasiakan masalah tentang mama dari Edo sampai keadaan kakek benar-benar membaik. Selama itu pula, dia tak boleh terlihat sedih di depan Edo. Dia tak ingin menambah beban pikiran Edo. Tapi nyatanya. Ekspresi Ina mudah ditebak. Edo tau kalau Ina sedang dalam masalah. Tapi dia ingin diam sampai Ina sendiri yang ingin bercerita.

Suatu ketika bel rumah Ina berbunyi. Ina yang kebetulan berada di ruang tamu pun langsung membukanya. Dia pikir itu Edo. Namun salah.

"Mama ?" Ina langsung menutup pintu rumahnya.

"Reina tolong buka kan pintunya. Mama ingin menjelaskan semuanya padamu" mama berteriak dari belakang pintu.

"Apa apalagi yang harus kau jelaskan, ma. Bukannya sudah jelas ? Saat itu kau bilang aku bukan anakmu. Lalu aku anak siapa ?" Ina menangis.

"Reina, mama mohon. Ini untuk terakhir kalinya. Setelah itu mama akan pergi. Mama tak akan menampakkan wajah mama di depanmu lagi. Mama berjanji."

Ina diam sejenak. Setelah itu dia membukakan pintu. Bukan karena kalimat mama barusan, melainkan karena dia berpikir ini adalah rumah mama. Bukan rumahnya. Bagaimanapun mama berhak keluar masuk rumah ini.

Setelah pintu terbuka, terlihat mama berdiri dengan raut muka sedih.

Segera mama memeluk Ina. "Reina mama benar-benar minta maaf. Mama terpaksa melakukan semua ini"

Ina melepas pelukan mama. "Sudahlah ma. Tujuan mama datang kesini apa ? tolong cepat katakan."

Mama menangis. "Mama kesini untuk menjelaskan semua ini pada mu Reina. Tolong dengarkan. Mama menikahi laki-laki itu karena perusahaan mama terancam bangkrut dan hanya ini kemsempatan-"

"Aku tak ingin mendengarnya lagi. Sudah jelas. Aku bukan anak mama."

Mama semakin terlihat sedih, air matanya tumpah. "Mama benar-benar minta maaf. Kau pasti sangat sedih waktu itu. mama minta maaf nak. Mama tak ingin melibatkanmu dalam urusan pekerjaan mama. Mama benar-benar menyesal."

Ina menghembuskan nafas panjang. "Mama, apakah mama kesini untuk meminta rumah ini juga ? Kalau begitu biar aku saja yang pergi"

"Tidak! Tidak Reina. Kau tinggal lah disini. jagalah rumah ini. Hanya ini yang bisa mama berikan untukmu. Mama mohon."

Ina diam. Tak menjawab.

"Mama sangat menyayangimu. Mama hanya ingin melihatmu bahagia tanpa terlibat urusan mama yang sangat rumit. Mama tak ingin kau merasakan apa yang mama rasakan. Mama menyayangimu. Tolong tinggallah disini. Setidaknya mama bisa memastikan kau baik-baik saja disini."

Ina sama sekali tak merespon apapun. Diam. Jauh dilubuk hatinya yang paling dalam dia sangat ingin memeluk mama. Dia ingin mama kembali padanya. Dia ingin mama memperhatikannya lagi. Tapi mungkin semua itu tak akan pernah terjadi lagi. Dia sangat terpukul.

Bagaimanapun anak yang ditinggal orang tuanya bercerai lebih menyedihkan daripada anak yang ditinggal orang tuanya meninggal. Bukankah dengan bercerai berarti mereka tak peduli dengan perasaan anak-anak mereka ? mereka lebih mementingkan urusannya masing-masing. Percayalah ini benar-benar menyakitkan.

"Kalau begitu mama pamit Nak. Jika kau ingin melupakan mama lakukan saja. Tapi tetaplah ingat bahwa mama sangat menyayangimu" Mama mengelus rambut Ina. "Selamat tinggal"

Mama mengecup kening Ina. Setelah itu dia pergi. Ina masih diam. Terpaku.

Kata itu lagi. Aku benar-benar membencinya.

Mbak Mina yang sedari tadi menguping pembicaraan di ruang tengah segera menghampiri Ina. Dia ikut menangis. Dilihatnya wajah Ina. "Non, baik-baik saja kan ?"

Tak ada jawaban dari Ina. Tiba-tiba setetes air matanya jatuh.

Mbak Mina segera memeluk Ina. "Non kalau ingin nangis, nangis saja. Kalau perlu yang kencang juga tak apa."

Ina menangis. Kencang. Hingga sesenggukan. Mbak Mina masih memeluk Ina. "Mbak.. apa yang harus kulakukan ? Apakah semua itu tadi sudah benar ?"

Mbak Mina mengangguk. "Iya. Non sudah melakukan sesuatu yang benar"

"Tapi. Kenapa ini terasa sakit sekali ?" Ina masih menangis.

Tak ada jawaban dari mbak Mina. Dia hanya tetap memeluk Ina dan mengelus rambutnya. Menangis.

"Apa yang harus kulakukan selanjutnya ?"

Mbak Mina melepas pelukannya. "Mbak Mina sendiri juga tidak tahu non. Tapi mbak Mina akan selalu membantu dan mendukung apapun yang non putuskan. Mbak Mina tau, baik papa maupun mama sangat menyayangi Nona. Mereka hanya ingin melindungi. Melihat nona bahagia tanpa terlibat urusan rumit mereka."

Tangisan Ina semakin kencang. Dia tau. Dia tau semua itu. Dia juga sangat menyayangi mereka. Tapi apakah harus berakhir seperti ini ? Berakhir amat menyakitkan.

"Apa mbak Mina perlu memanggil Edo ?"

Ina menggeleng. "Jangan. Kakeknya masih belum sembuh total. Aku tak ingin menambah beban untuknya."

Mbak Mina mengangguk. Mengerti.

"Aku pergi ke kamar dulu"

Ina menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Mbak Mina masih tetap di tempatnya. Menahan tangisan. Bagaimanapun Ina sudah dia rawat sejak bayi. Dia sudah menganggap Ina seperti anaknya sendiri.

Ina menutup pintu kamar. Berjalan sempoyongan menuju tempat tidur. Membanting tubuhnya di kasur. Lemas. Dia lelah dengan semua ini. Membalikkan badan. Sekarang dia menatap langit-langit kamar mengamati stiker-stiker bulan bintang.

Dia memejamkan matanya yang sudah lelah menangis. Air matanya sudah kering. Tak sanggup menangis lagi. Tak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Lebih baik menjaga apa yang dia punya sekarang.

Aku tak ingin kehilangannya.

Hanya dia satu-satunya yang aku punya saat ini.

Edo tetaplah bersamaku.

Jangan tingalkan aku sendiri.

Next Part "Menerima"

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang