EPILOG

37 8 3
                                    

"Kau yang tak memperbolehkanku untuk bersedih. Lalu kau sendiri yang membuatku bersedih. Malah kau yang memulai membuatku tak mampu menerima semua kenyataan ini. Kau yang memulai semuanya."

Ina duduk di pinggir tebing kota. Air matanya kering terkena angin. Dia sudah lelah menangis. Semua itu telah hilang perlahan-lahan dari dirinya. Semuanya telah hilang, telah pergi. Meninggalkannya seorang diri. Jelas, tanpa ia meminta. Perlahan-lahan namun amat bisa dipastikan.

Sudah saatnya dia meninggalkan kota ini. Meninggalkan kota lahirnya. Meninggalkan semua kenangan-kenangan indah maupun menyakitkan. Dia memutuskan tinggal di rumah mbak Mina. Kota yang lumayan jauh dari kotanya sekarang, apalagi ibukota.

"Akhirnya aku menemukanmu." Kata seseorang menghampiri Ina. Terdengar suara nafasnya yang tak teratur. Tersengal-sengal. "Aku menepati janjiku. Janji kita, Ina."

Suara itu menyadarkan Ina dari lamunannya. Suara yang amat Ina kenal menyebut namanya. Suara yang mampu memberinya ketenangan. Kehangatan. Suara yang telah lama tak ia dengar. Suara yang amat ia rindukan.

Ina menoleh. Seorang laki-laki berdiri persis dibelakangnya. Lelaki itu mengenakan sweater yang menyelimuti tubuh kurusnya, celana jeans panjang serta jaket yang disampirkan di pundaknya. Rambut sedikit gondrongnya bergerak-gerak terkena angin yang berhembus kencang saat itu.

"Rei?" batinnya.

Rei tersenyum. Namun di raut mukanya tersirat kesedihan ketika melihat kondisi Ina. Segera dia memasangkan jaketnya di tubuh Ina. "Sejak kapan kau berada disini ?"

"Entahlah." Ina mengalihkan pandangan. "Kukira, aku tak akan bertemu denganmu lagi."

Rei menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Duduk di samping Ina, dipinggir tebing. "Ina, aku minta maaf. Aku benar-benar menyesal."

Ina menggeleng. "Ini bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa. Hanya saja aku yang lemah. Cengeng."

Rei memegang bahu Ina. Menatapnya. "Sudah kubilang berapa kali, jangan salahkan dirimu atas semua yang terjadi."

"Lalu ?! lalu siapa yang harus ku salahkan ?! Suara Ina meninggi. Hanya itu, satu-satunya cara agar aku tak menyalahkan siapapun. Termasuk takdir yang menyakitkan ini!"

Rei dengan cepat memeluk Ina. "Sungguh. Aku tak mau melihatmu seperti ini."

Rei Ina melepas pelukan. "Sebaiknya kau pergi. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku tak ingin bersamamu lagi." Dia mengalihkan pandangan. "Untuk apa bersama dengan seseorang jika suatu saat mereka akan meninggalkanku. Sudah cukup. Aku tak ingin tersakiti lagi karena hal itu."

Rei diam. Kemudian dia berdiri, berteriak menghadap purnama saat itu. "INA, AKU MENCINTAIMU! AKU BENAR-BENAR MENYUKAIMU. AKU BERJANJI AKAN MEMBUATMU BAHAGIA."

Ina tersentak, lalu menatap Rei. "Apa yang kau lakukan, Rei ?"

"Aku berkata jujur."

Ina menghembuskan nafas. "Bisakah.. aku mempercayaimu ?"

Rei kembali duduk. Dia membuka tas yang sedari tadi berada di punggungnya. "Aku sudah membuat sekitar setengahnya. Ini ampuh mengusir rasa bosanku." Dia menunjukkan isi tasnya. Terdapat origami bangau warna warni. "Aku menulis setiap permohonanku di balik sayapnya."

Ina memperhatikan. Benar. Dibalik sayap bangaunya, terdapat tulisan "Aku ingin bertemu paman" "Aku ingin seperti paman" "Aku ingin melihat bintang jatuh" "Aku ingin melihat senja" "Aku ingin pergi ke atap sekolah lagi" "Aku rindu tebing kota" "Aku ingin menikmati purnama"

Rei mengeluarkan satu origami bangau yang paling indah. Kertasnya bercorak. Kelap kelip. Lipatannya rapi. Ukurannya lebih besar dari yang lain. Rei memberikannya pada Ina. Di balik sayap bangau terdapat tulisan "Aku ingin bersama Ina, selamanya."

Rei mengalihkan pandangan. "Kupikir itu tak akan pernah terjadi. Makanya aku buat paling indah." Dia menatap bulan yang sedang di posisi tertingginya. "Selama ini aku selalu membohongi perasaanku. Kupikir, aku yang selalu terpaku pada paman, tak pantas di sisimu. Aku hanya akan terus menyakitimu.

"Namun lambat laun aku semakin merasa tertekan. Ada kekosongan dihatiku. Entah mengapa rasanya aku tak memiliki semangat lagi. Semua terasa membosankan. Terasa hampa, tanpamu Ina." Rei menatap Ina.

Ina hanya diam. Tak ada respon apa-apa.

"Itu tas milikmu ?" Rei menunjuk tas berukuran sedang yang berada di samping Ina sejak tadi.

Ina mengangguk.

"Apa.. aku boleh tau isinya ?"

Ina memberikan tas itu pada Rei. Rei membukanya.

"Aku mulai membuat ketika kau memberiku origami bangau berwarna kuning waktu itu. Aku membiarkannya kosong. Aku.. hanya takut berharap. Sungguh. Aku tak ingin tersakiti lagi." Mata Ina mulai mengeluarkan air mata.

Rei menggenggam tangan Ina. "Ina.. aku sangat tak ingin melihatmu tersakiti, bersedih, maupun menangis. Melihat kau tersenyum lepas adalah hal yang paling membuatku bahagia."

Ina mengusap pipinya. "Aku tak tau sudah berapa banyak bangau yang kubuat."

Rei menghembuskan nafas panjang. "Aku yakin, kita tak harus membuat seribu. Selama manusia hidup, pasti memiliki harapan. Selama ini, tak semua harapanku terkabul. Malah hal sebaliknya terjadi. Hal yang tak pernah aku inginkan. Harapkan. Namun aku hanya ingin terus berharap, agar Tuhan tau seberapa besar aku ingin harapan itu terkabul. Aku tak akan menyerah."

Ina diam sejenak lalu menghembuskan nafas panjang. "Baiklah." Ina mengambil salah satu origami bangaunya, ia memejamkan mata. Meletakkan origami bangau itu didepan dadanya. "Harapan pertamaku adalah aku ingin bersama Rei, selamanya. Biarkan purnama menjadi saksi ketulusan harapan kita. Ina menatap Rei, tersenyum. Rei, aku juga mencintaimu."

Rei balas tersenyum. Memeluk Ina. Erat. "Apa ini nyata ? aku tak pernah berpikir jika kau juga mencintaiku."

"Setiap kali aku berada di dekatmu, aku merasakan kehangatan. Kehangatan yang tak pernah aku rasa sebelumnya dan tak akan pernah aku rasa pada orang lain. Kehangatan yang begitu menenangkan. Saat itu aku sadar, aku ingin terus berada di dekatmu. Disisimu."

Rei tersenyum. "Terima kasih." Dia memegang kedua tangan Ina. "Aku berjanji akan terus menjagamu. Ina aku sekarang tau."

"Apa ?"

"Tak hanya bangau yang punya tempat pulang. Sekarang aku sudah menemukannya. Kau adalah tempatku pulang, Ina."

Ina tersenyum. Menyandarkan kepalanya di bahu Rei. "Aku selalu menunggumu pulang, Rei. Sejak dulu."

yeayy akhirnya 1000 BANGAU tamat juga hehe

Terima kasih pada readers setia 1000 BANGAU^^

Terima kasih juga atas vomment nya..

Dadahhh

SEE YOU...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang