Jalanan sepi, setidaknya bagi ibukota. Padahal ini musim liburan, seharusnya banyak turis yang datang dari manca negara untuk berlibur disini. Ibukota. Kota yang tak hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat pariwisata. Hebat. Oleh karena itu banyak orang berpindah ke ibukota untuk mencari penghasilan yang lebih. Sifat dasar manusia. Rakus.
Café yang berada di sisi-sisi jalan tampak sepi. Tak seperti musim liburan sebelumnya. Supermarket masih menjadi favorit ibu-ibu untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Untuk keluarganya. Perpustakaan kota selalu sepi. Tak peduli musim liburan atau tidak. Mungkin kebanyakan orang tak menyukai membaca. Mereka lebih tergiur oleh sesuatu yang gemerlap.
Rei berjalan menyusuri tengah kota sambil menyalakan sebatang rokok. Ya. Merokok adalah andalannya ketika sedang bosan. Sekarang. Dia sudah berhenti membuat origami-origami tak penting itu lagi. Buat apa ? tak ada gunanya. Begitu pikirnya. Sejak saat itu.
Rei mengenakan kaos berwarna abu-abu, dipadukan dengan kemeja kotak-kotak yang tidak di kancingkan. Celana jeans pendek adalah andalannya. Kini rambutnya sudah lebih panjang, dia tak sempat memotongnya. Lebih tepatnya malas. Bosan.
Rei tiba-tiba berhenti. Lalu dia mengadah diantara orang-orang yang berlalu lalang. Rokok yang telah dihisapnya, kini ia hembuskan perlahan melalui mulutnya. Asap rokok memenuhi pandangan Rei. Ditatapnya langit malam diatas kota yang sempurna ini.
"Belum purnama ya?" gumamnya.
Tampak jelas, saat itu bulan sedikit lagi akan bulat sempurna. Tinggal sedikit. Rei selalu menunggu-nunggu saat purnama. Baginya, menatap bulan yang sedang cantik-cantiknya dapat memberikan ketenangan. Kenyamanan. Dia biasanya mencurahkan segala isi hatinya, keinginannya, serta harapannya. Meskipun semua itu tak dapat ia raih hingga sekarang. Tak heran jika dia menghabiskan waktu berjam-jam diatap rumahnya.
Terlihat beberapa bintang bertabur di langit. Tak banyak. Ada yang dekat dengan bulan, ada satu yang jaraknya sangat jauh dari bulan. Namun ukurannya lebih besar dari bintang yang lain. Tentu saja lebih bercahaya.
Tiba-tiba Rei merasa bahunya ditepuk. Dia tersentak. Membuat pudar lamunannya. Segera ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah menepuk bahunya. Membuatnya kaget.
"Kau masih suka melamun ya ?"
Seseorang yang amat dikenali Rei berdiri dihadapannya. Seseorang yang amat menyebalkan bagi Rei. Ia mengenakan jaket hoodie dipadukan dengan celana jeans panjang. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Seseorang itu tersenyum menatap Rei.
"Kau masih ingat aku kan ?"
"Bagaimana aku bisa lupa dengan seorang pengganggu dan perebut sepertimu ?" Jawab Rei.
Seseorang itu tertawa mendengar jawaban Rei. "Buanglah rokok itu. Tak baik untuk kesehatanmu."
Rei menyipitkan matanya. "Sejak kapan kau mulai peduli dengan orang lain ? Bukankah kau selalu peduli dengan dirimu sendiri, Edo ?"
Edo diam. "Benar. Aku sudah egois."
"Kenapa baru sekarang kau sadar ? Ini sudah terlambat. Sebaiknya kau tak usah menampakkan wajahmu dihadapanku lagi."
"Baiklah. Tapi sebelum itu kita harus bicara, Rei."
"Tak ada yang perlu dibicarakan. Aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk kau rebut." Rei mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Edo.
Edo diam menatap punggung Rei yang semakin jauh darinya. "Ini tentang Ina."
***
Café yang berada di ujung jalan menjadi pilihan Edo. Sepi. Pengunjungnya hanya ada beberapa. Bukan karena itu Edo memilihnya. Tetapi karena café itu menawarkan anggur sebagai minuman utamanya. Benar. Edo peminum. Rei perokok. Itulah keburukan mereka. Setidaknya mereka tak mengkonsumsi pil penenang.
"Kalau kau terus-terusan minum, kau akan mabuk berat."
Edo tertawa. "Aku tak peduli. Ini kebiasaanku akhir-akhir ini."
Rei menatap Edo prihatin. "Apa yang membuatmu sampai begini ?"
Edo meneguk segelas anggur. Dia meminta pelayan agar memberinya botol anggur lagi. Ini adalah botol ketiganya. "Apa ya.. mungkin karena kakek meninggal. Aku jadi frustasi."
Rei terkejut. "kakek meninggal ? Kapan ?"
"Sudah satu minggu mungkin."
"Mungkin ?" Rei menatap Edo. "Kau memang stress. Aku turut berduka atas kematian kakek. Aku belum sempat pamit kepadanya waktu itu."
Edo memukul meja. "Benar. Kau itu memang kurang ajar. Pergi tak pamit pada siapapun. Memang kami kau anggap apa ? kau.. kau membuat Ina bersedih."
Rei tersentak. "Aku minta maaf. Aku sudah minta maaf padanya."
"Cuma maaf ?" Suara Edo meninggi.
Rei terlihat marah. "Lalu apa ?! Kau sendiri yang tak memperbolehkanku menemuinya. Lalu aku harus bagaimana lagi ?!"
Edo diam menatap Rei. Lalu dia mengalihkan pandangannya, meneguk segelas lagi. "Dia.. kehilangan mama nya."
"Aku sudah tau itu."
Edo mengernyitkan dahinya, heran.
"Saat kita bertemu dulu, Ina bilang dia akan menemuiku setelah dia mengantarmu. Tapi aku tak menemuinya. Aku hanya menulis pesan selamat tinggal padanya. Dia menangis. Setelah itu dia pergi ke taman jembatan, aku mengikutinya. Dia pergi kesana dengan tujuan menenangkan diri. Tapi nyatanya, disana dia memergoki mama nya dengan pria lain yang saat itu kuduga rekannya.
"Namun dugaanku salah. Ina menghampiri mereka, aku tak tau apa yang Ina tanyakan. Tapi yang jelas, setelah itu mamanya dan laki-laki itu pergi meninggalkan Ina. Ketika mereka berjalan melewatiku, aku dapat melihat mereka bergandengan tangan seperti pasangan. Aku tersentak. Segera aku melihat Ina. Dia.. terduduk. Menunduk dalam-dalam. Dia menangis hebat saat itu."
Edo diam mendengar cerita Rei.
"Saat itu aku ingin sekali menghampirinya, memeluknya, berusaha menenangkannya. Tetapi langkahku terhenti. Aku tak bisa melakukannya-"
"Kenapa ?" Tanya Edo.
Rei tampak kesal, berdiri. "Ini semua gara-gara kau, sialan. Bukankah sudah kubilang, kau melarangku menemuinya. Kau bilang bahwa kau pacarnya. Apa kau amnesia ? Bodoh." Rei menarik krah baju Edo. "Sekarang ku tanya, apakah saat itu kau menenangkannya ?"
Edo diam. "Tidak. Aku baru tau dia kehilangan mamanya akhir-akhir ini."
BUAK!
Rei memukul pipi Edo. Edo tidak seimbang, dia jatuh dari kursi. Membuat pelayan dan pengunjung lain kaget. Menoleh pada mereka. Rei yang menyadarinya segera meminta maaf.
"Maaf, kami akan segera pergi." Kata Rei sambil menarik lengan Edo.
Next part "Perkelahian"
KAMU SEDANG MEMBACA
1000 Bangau [COMPLETED]
Romancepulanglah... apa kau tak rindu pulang ? apa kau tak rindu kota tempat tinggalmu ? kota yang amat sejuk dan menenangkan. kota yang menyimpan banyak kenangan yang telah kita ukir bersama. kota dimana janji-janji dibuat. kota dimana harapan-harapan dit...