REI 2

7 8 1
                                    

Hari berikutnya pun tiba. Seusai beberes membersihkan tubuh, aku menemui nenek yang berada di ruang makan sedang menyiapkan makan. "Bagaimana tidurmu Nak ?"

"Terima kasih. Telah memberiku tumpangan." Aku menarik kursi meja makan.

Disusul Nenek yang mulai duduk di depanku. "Kau ini bicara apa. Ini rumah pamanmu, rumahmu juga."

"Apa ada balasan pesan dari paman ?"

Nenek menggeleng lemah. "Padahal dia sama sekali tak pernah mengabaikan pesan dari nenek."

"Begitukah ?" Aku semakin penasaran dengan siapa nenek yang ada di depanku itu. Mengapa selama ini paman tak pernah cerita apa pun tentangnya.

Hari semakin menjelang sore. Tak ada pesan apapun dari paman. Nenek itu terlihat semakin gelisah. Namun, berbeda denganku. Aku dipenuhi rasa kekesalan. Apa ini hasil dari selama ini pencarianku ? apa paman mencoba kabur dariku lagi ? Begitu pikirku. Aku sangat tak tahan, segera aku masuk ke dalam kamar mengambil mantel.

"Kau mau kemana Nak ?"

"Ke tempat kerja paman."

"Tunggu sebentar nenek ikut. Di halaman belakang ada mobil milik pamanmu. Kau bisa mengendarainya kan ?"

Aku mengangguk. Segera menuju halaman belakang. Mengeluarkan mobil. Tak lama kemudian nenek keluar dari rumah mengunci pintu. Lalu masuk ke dalam mobil yang kukendarai.

"Memang kau tau dimana kantor pamanmu ?"

"Tidak"

Nenek tertawa. "baiklah. Jika nanti kau bertemu pamanmu, nenek minta tolong tahan emosimu."

Aku tak menjawab.

Jarak antara rumah paman dan kantornya tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sesampainya disana, terlihat banyak polisi sedang berkumpul. Nenek menghampiri mereka.

"Ada apa ? Dimana Norman ?"

Para polisi terlihat kaget ketika mendapati nenek berada di ruangan mereka.

Salah satu polisi angkat bicara. "Maafkan saya Bu. Barusaja saya hendak menghubungi Anda. Pak Norman sekarang berada di rumah sakit."

Seluruh tubuh nenek terlihat bergetar. Aku hanya termangu.

"Apa yang terjadi padanya ?" kata nenek dengan suara serak.

Polisi tadi menghembuskan nafas panjang. "Maafkan kami Bu. Kami tak bisa melindungi Pak Norman. Dia terkena tembakan dari buron yang akan kami tangkap tadinya."

Nenek terlihat begitu marah atas apa yang diucapkan polisi tadi. "Bagaimana bisa kalian berbicara seperti itu! Kau sama sekali tak becus dalam bekerja! Kalau terjadi sesuatu pada Norman, kalian yang akan bertanggung jawab!"

Polisi lain ikut prihatin dengan kondisi nenek. "Ibu, tolong tenanglah. Sebaiknya anda segera kesana. Biar saya yang antar."

Sesampainya di rumah sakit dimana paman berada, polisi itu mendatangi salah satu dokter. Bertanya bagaimana keadaan paman sekarang.

Dokter itu terlihat prihatin. "Saya sudah berhasil mengeluarkan peluru dari tubuhnya. Sayang sekali kondisinya makin memburuk seketika sejak diambilnya peluru tersebut."

"Apa kami boleh menemuinya Dok ?"

Dokter itu mengangguk. "Hanya satu orang yang bisa menemuinya. Lingkungan disekitarnya harus benar-benar steril."

Nenek terlihat makin sedih. "Kalau begitu nak Rei saja yang akan menemuinya."

Aku terkejut, mengapa harus aku ? Dan aku tak tau apa yang akan aku lakukan saat melihat kondisi paman nanti.

"Baiklah silahkan ikuti saya."

Setelah memakai baju steril yang diberikan suster. Aku pelan membuka kamar rawat paman. Kulihat selang-selang memenuhi tubuh paman. Paman yang menyadari keberadaan seseorang pun berusaha menoleh.

"Rei ?"

Aku termangu, berdiri di depan pintu, tak mendekati paman yang barusaja memanggilku. Seketika satu tetes air mata jatuh di pipiku. Tanpa kusadari.

"Rei paman baik-baik saja. Kau sudah terlalu tua untuk menangis. Kemarilah."

Aku mendekat ke ranjang paman. Sekarang aku bisa melihat lebih jelas selang-selang itu. "Mana yang harus kulakukan ? Apa aku harus marah atau bersedih ?"

Paman berusaha keras tersenyum. "Paman merindukanmu Rei. Kau sudah besar sekali sekarang."

"Paman tolong jangan banyak bicara dulu. Biar aku saja yang berbicara."

Paman mengangguk lemah.

"Maafkan aku paman. Awalnya aku berniat marah jika bertemu dengan paman. Aku tak tau mengenai semua fakta yang aku temukan. Apakah itu benar atau salah, saat itu emosi benar-benar menguasaiku. Aku terdiam sejenak. Tapi. Melihat kondisi paman yang seperti ini membuatku ingin membenci diriku sendiri. Paman aku benar-benar tak ingin kau meninggalkanku lagi. Aku ingin kita hidup berdua lagi bersama. Tak apa jika paman sering bertugas, tapi jangan membahayakan diri paman sendiri. Paman, aku tak mau sendirian lagi, aku mohon kembalilah padaku."

"Paman yang harusnya meminta maaf padamu Rei. Dosa paman padamu sangat banyak. Sampai-sampai paman tak mampu melihat wajahmu lag-"

"Cukup paman! Awalnya aku memang menginginkan paman meminta maaf padaku. Tapi aku sudah memaafkan paman ketika hendak kemari. Saat ini yang aku inginkan adalah paman kembali. Berjuanglah paman, yakinlah paman segera sembuh."

Paman menggeleng lemah. "Paman akan berjuang, namun paman sudah amat lelah. Apapun yang terjadi kedepannya, kau harus menerimanya Rei. Bukankah sudah paman ajarkan pada kau."

Aku diam. Apa ini ? mengapa paman berbicara seperti ini ? seakan-akan...

Paman menghembuskan nafas berat. "Biarkan orang tua ini beristirahat dengan tenang."

Aku tersentak.

Seseorang membuka pintu kamar paman. "Permisi, maaf waktu kunjungan anda telah habis. Dimohon untuk meninggalkan pasien."

Aku menoleh pada paman yang mengangguk, terlukis senyum diwajahnya yang nampak amat lelah. Aku baru menyadari bibir paman ternyata sangat pucat. Kulitnya membiru, aku sama sekali tak tau apa ini efek peluru yang barusaja diambil dari tubuh paman atau karena efek lain. Mata paman juga tampak amat sayu, seakan-akan tak mampu menatap dunia nan indah ini lagi.

***

"Kami akan mengoprasinya hari ini juga. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pak Norman. Sisanya hanya Tuhan yang akan menentukan takdirnya." Kata dokter sebelum masuk ruang operasi paman.

Sejak keluar dari kamar paman, aku hanya duduk di ruang tunggu tanpa sepatah kata pun. Polisi yang tadi mengantar mereka baru saja pamit pulang, dia juga punya istri dan anak yang menunggu di rumah. Nenek yang duduk disampingku ingin sekali bertanya mengenai kondisi paman namun setelah melihat ekspresiku yang sangat terpukul, nenek langsung tau.

Lima jam berlalu. Dokter masih tak kunjung keluar dari ruang operasi. Nenek sudah tertidur di sofa tunggu rumah sakit. Sedangkan aku masih terjaga. Melamun. Mengoreksi kesalahan yang telah kulakukan terhadap paman. Aku benar-benar menyesal. Sungguh, saat itu aku membenci diriku sendiri.

Satu jam setelahnya dokter baru keluar dari ruang operasi. Aku segera menghampirinya, nenek juga segera bangun.

"Bagaimana dok ? Paman saya sudah siuman ?"

Dokter tersebut menghela nafas panjang sambil memasang ekspresi prihatin. Dari situ, aku dan nenek tau maksud dari ekspresi dokter. Kita tak percaya.

"Tidak mungkin!" nenek berteriak.

"Maafkan kami. Kami tidak berhasil. Saya turut berduka cita."

Gimana Readers part kali ini ? minta pendapat dongg

Part selanjutnya akan kembali normal, eits tapi masih bagian cerita Rei kok

Jadi jangan khawatir Readers, vomment nya sangat dinantikan ^^

Next part "Tragedi"

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang