PERTEMUAN

4 5 1
                                    

"Apa aku tak salah dengar ?" Ina termangu.

"Tidak" Tiara menatap Ina. "Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Saat itu dia masih jadi ketua Osis tingkat smp. Aku dulu satu sekolah dengan kalian, aku juga kenal kalian bertiga sejak dulu. Kau, Edo, dan Reihan. Persahabatan kalian begitu rumit."

Ina tersentak. "Maaf dulu aku tak mengenalmu."

"Tak apa. Memang sejatinya kau seperti itu. Memiliki mereka berdua sudah cukup bagimu, kan ?"

Ina mengangguk pelan. Dia berpikir sejauh mana Tiara tau tentang semua itu.

"Ketika melihat Edo hatiku berdegup kencang. Aku berusaha memberanikan diri mengajaknya berbicara, dia dengan ramahnya menerimaku. Kami pun berteman. Kau tau Ina, ketika kau mencintai seseorang, rasanya seperti kau ingin terus melihatnya. Aku berusaha agar keinginanku tersampaikan, aku pun mendaftarkan diri sebagai pengurus Osis. Aku jadi lebih sering melihatnya. Dia sering membantuku, memberiku saran dan dia selalu membuatku tersenyum, tertawa atas tingkah konyolnya. Kau pasti juga pernah merasakan jatuh cinta seperti itu bukan ?"

"Jatuh cinta ?" Ina terdiam berusaha mencerna. "Kurasa aku pernah merasakan apa yang kau rasa. Tapi aku lupa."

Tiara tersenyum mendengar jawaban Ina. "Namun suatu hari ketika kau dan Reihan menjemputnya di ruang Osis, aku baru manyadari bahwa sikap Edo sangat berbeda ketika berbicara denganmu. Raut mukanya, nada bicaranya, serta tingkahnya membuatku yakin kalau dia menaruh rasa padamu. Hatiku hancur kala itu, harapan yang aku bangun sejak dulu pupus seketika."

"M-maafkan aku, Tiara"

"Tidak, ini bukan salahmu. Tak ada yang salah dalam hal perasaan. Aku berusaha melupakannya, tapi itu sulit. Setiap saat aku selalu teringat tentangnya. Tanpa aku sadar, kenangan bersamanya tiba-tiba muncul dibenakku. Hal-hal kecil yang kami lakukan, tingkah konyol Edo, bahkan nasehat darinya tak pernah hilang dari ingatanku. Bahkan aku yakin Edo tak pernah sekali pun mengingatnya. Saat itu aku membenci diriku sendiri. Kau mungkin akan merasakan ini Reina, sungguh ini begitu menyakitkan."

Ina diam sejenak. "Tidak. Aku sudah merasakannya. Aku ingat." Ina menunduk. "Aku sudah menyadarinya sekarang, kenangan bersamanya..."

"Benarkah ? Dengan siapa ?"

"Lanjutkan saja ceritamu." Raut muka Ina berubah, matanya mulai berkaca-kaca.

"Menghindarinya ketika bertemu agar perasaan ini tak terus menguasai diriku adalah salah satu usahaku melupakannya. Bahkan aku sengaja memilih sma yang berbeda dengannya. Namun, semua usahaku hancur seketika Edo berkata bahwa aku pantas menjadi ketua Osis. Aku pun mencalonkan diri. Dari situ aku sadar, bahwa melihatnya bahagia sudah cukup bagiku. Tak apa jika aku tak memilikinya, tak apa jika harapanku pupus dan tak apa jika perasaanku ini sekalipun tak tersampaikan padanya."

"Maafkan aku. Tak seharusnya aku bercerita ini kepadamu. Tapi aku ingin menceritakan ini pada seseorang. Agar aku sedikit merasa lega. Maafkan aku yang terbawa suasana sehingga menjadikanmu orang tersebut. Aku benar-benar minta maaf Reina." Tiara mendekati Ina.

Ina tersenyum, memeluk Tiara. "Tak apa. Aku yang harus berterima kasih padamu. Berkatmu, aku jadi menyadari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ku sadari sejak dulu."

Bahwa ternyata aku mencintainya. Dia yang tak bisa kulupakan bahkan sehari pun. Dia yang memberikan ku kehangatan yang meyayat hati. Dia yang sekarang entah dimana. Dan dia yang kuinginkan agar bisa hidup bahagia tanpa kehadiranku. Aku benar-benar mencintainya.

***

Acara pertemuan Osis dari seluruh kota akan dilaksanakan satu jam lagi. Tiara pergi bersama temannya lebih dulu. Katanya dia ingin jalan-jalan di sekitar hotel. Ingin tahu suasana ibukota yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya. Ina dan Edo pun memutuskan jalan-jalan juga.

Mereka berjalan trotoar. Setiap jarak lima meter terdapat lampu hias di pinggir trotoar. Dan disamping lampu hias itu terdapat bangku kecil yang di sediakan khusus pejalan kaki. Desainnya unik. Pohon-pohon yang tak terlalu lebat namun teduh membah hiasan untuk jalanan di ibukota. Disetiap pohon terdapat slogan-slogan unik bertema lingkungan. Menakjubkan.

Jalanan ini bukanlah pusat gedung-gedung tinggi. Disini adalah jalanan khusus wisatawan. Jadi, selama berjalan, mereka tak menemukan gedung tinggi. Mereka hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Gedung-gedung berdiri gagah menembus langit. Kanan kiri mereka dipenuhi oleh kedai, restoran, perpustakaan, taman hiburan, museum, dan yang paling banyak dibangun adalah café.

Mereka memilih Café lain yang berada disebrang jalan. Bertema klasik. Musik klasik selalu dialunkan setiap hari dengan lagu yang berbeda-beda. Perpustakaan mini café itu yang membuat Ina tertarik untuk mengunjunginya, tak terlalu banyak buku yang disediakan, namun cocok dengan tema café tersebut. Setelah memesan minum, mereka memilih duduk di dekat cendela.

"Ina, kapan mama mu akan pulang ?"

Ina menghembuskan nafas pelan. "Aku tak tau Edo"

"Biasanya dia menelponmu kan ? Apa dia tak bilang kapan pulangnya ?"

Ina menggeleng. "Dia sekarang semakin jarang menelpon. Yang awalnya setiap hari, jadi sekali seminggu, lalu sekarang sebulan sekali. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan Edo"

Pelayan café mengirim minuman pesanan mereka dengan ramah. Mereka juga balas ramah berterima kasih.

"Tenang saja. Pasti mama mu semakin sibuk. Makanya dia jarang menelponmu. Lagian jujur aku kagum padanya. Padahal dia seorang wanita, namun dia bisa memimpin perusahaan sebesar itu." Lanjut Edo.

"Yaa kan itu memang warisan kakek. Bagaimana pun mama yang harus melanjutkan perusahaan itu."

"Ina" Edo tampak senang. "Mungkin besok perusahaan itu akan diwariskan kepadamu. Dan kau akan jadi wanita karir. Itu sangat hebat Ina."

Ina memutar bola matanya, menghela nafas. "Ya bisa jadi sih. Tapi aku sama sekali tak tertarik. Aku bahkan sama sekali tak menginginkannya." Mata Ina menerwang pemandangan jalanan kota di bawah.

Edo menatap wajah Ina. Seakan tau arti ekspresi pacarnya itu. tak berkomentar. Dia melihat jam tangannya. "Kita sebaiknya segera kembali. Lima belas menit lagi acaranya dimulai."

"Oke" Kata Ina seraya menghabiskan minuman yang dibelinya.

Mereka segera meninggalkan café. Jarak café itu dengan hotel tak terlalu jauh, hanya sekitar seratus meter. Dalam perjalanan, mereka bisa melihat banyak kendaraan yang berlalu lalang, begitupun dengan pejalan kaki. Katanya, ibukota akan makin ramai ketika hari minggu. Terutama untuk jalanan ini. Berbanding terbalik dengan kota asal Ina.

Tiba-tiba langkah Edo yang berjalan di depan terhenti. Ina heran mengapa pacarnya berhenti.

"Ada apa Edo ?" Ina melangkah maju. Sekarang posisinya sejajar dengan Edo.

Dilihatnya Edo tertegun. Ina penasaran apa yang membuat Edo tertegun. Ina mengikuti pandangan Edo. Dia ikut tertegun. Seseorang berdiri di depan mereka. Sama tertegunnya dengan mereka. Seseorang itu mengenakan kaos dan celana jeans pendek dipadukan dengan jaket jeans.

Seseorang yang selama dua tahun menghilang dari kehidupan mereka. Seseorang yang selama ini tak bisa mereka lupakan diam-diam, hanya saling meyakinkan satu sama lain agar tak terus menerus mengingatnya. Masih tersimpan di memori kenangan-kenangan bersamanya. Seseorang yang Ina pikirkan semalam. Membuatnya tak bisa tidur. Gelisah. Seseorang yang amat ia rindukan selain mama.

"Rei ?" Setetes air matanya pun jatuh.

Akhirnya mereka bertiga betemu lagii...

Apakah dengan pertemuan ini mereka bisa memperbaiki hubungan, atau malah sebaliknya ?

Jangan lupa Vomment nya readers^^

Next part "Hampa"

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang