SEBUAH SURAT

19 16 3
                                    

"PAMAN! PAMAN!" teriaknya. "APA PAMAN SUDAH PULANG ?"

Dengan raut muka bahagia Rei berlarian mengitari rumah besar bergaya klasik yang sudah hampir empat tahun ia tinggali. Dia membuka seluruh ruangan yang ada. baik di lantai dasar maupun lantai atas. Tak pernah bosan, setiap hari dia melakukan ini. Seperti rutinitas setelah pulang sekolah sejak dua bulan terakhir. Berharap orang yang dicarinya sudah ada di rumah sedang menunggunya pulang.

Beberapa saat kemudian dia sudah sampai di ruang kerja pamannya, ruang terakhir di lantai atas yang akan dia buka.

Krieettt!

Nihil. Tak ada siapa-siapa disana. Hanya ada buku-buku, sofa, meja kerja beserta laptop yang sudah beberapa bulan ini tak terpakai. Masih tertata rapi.

Huftt. Rei menghempaskan tubuhnya di sofa. Raut muka bahagianya berganti kekecewaan. Dipandangnya meja kerja paman. "Apa yang harus kulakukan paman ?"

Rei sudah berkali-kali menghubungi pamannya tetapi tak ada balasan apapun dari paman. Paman hanya meninggalkan sebuah surat sebelum dia pergi.

Reihan. Paman pergi karena urusan pekerjaan. Paman minta maaf karena kemungkinan tak bisa kembali dalam jangka waktu dekat. Ada kasus penting yang benar-benar membutuhkan keahlian paman. Jaga dirimu baik-baik ya. Maaf.

Paman

Hanya itu yang ditulis paman. Yang membuat Rei kecewa adalah kenapa pamannya tidak bicara secara langsung dengannya. Dan kenapa setiap kali Rei mencoba menghubungi tak ada jawaban dari pamannya ? Apakah kasusnya sangat penting melebihi Rei ?

Rei tak mengerti kenapa pamannya menghilang perlahan. Dia sempat berfikir kalau pamannya masih tidak bisa menerima kepergian bibi empat tahun lalu karena kanker rahim. Tetapi, sepertinya bukan itu alasan yang tepat. Karena itu sudah lama sekali dan mereka sudah pindah rumah. Mereka tak lagi tinggal dirumah yang dulu mereka tinggali bersama bibi.

Dan kalau paman benar-benar merasa kehilangan bibi, setidaknya mereka bisa tinggal dimana paman sekarang tinggal. Bukan meninggalkan Rei dirumah ini seorang diri. Berbulan-bulan Rei mencoba berfikir positif, menyakinkan dirinya sendiri kalau paman pergi karena benar-benar ada kasus yang membutuhkan paman.

Rei berdiri. Berjalan melihat-lihat ruang kerja pamannya. memang selama ini Rei dilarang keras oleh paman masuk ke ruang kerja paman. Entah mengapa. Rei juga penasaran kenapa paman tak memperbolehkan nya masuk. Dan sekarang inilah kesempatan Rei mencoba cari tau apa penyebabnya. Siapa tau dia juga bisa menemukan penyebab kepergian paman yang tiba-tiba ini.

Dia berjalan mengelilingi ruangan yang sama besarnya dengan kamarnya. Disetiap tembok selalu terdapat rak buku dimana banyak buku-buku milik pamannya tertata rapi. Tinggi rak itu tiga kali lipat tinggi Rei, jadi disana disediakan tangga kecil untuk mengambil buku yang berada di atas. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja kerja kaca yang ukurannya lima kali lipat bangku sekolah Rei, besar. Diatas meja tersusun beberapa dokumen yang tertata di pinggir, alat tulis serta laptop milik pamannya yang juga tak kalah besar.

Di pojok ruangan terdapat sofa warna hijau dan meja yang biasanya digunakan pamannya untuk menerima tamunya atau rekan kerjanya. Diujung tengah ruangan terdapat jendela besar, darisana Rei bisa melihat pemandangan luar lebih luas. Lantainya dilapisi karpet Supaya nanti Reihan tak terpeleset. Kata pamannya. Rei sempat bingung, bagaimana bisa dia terpeleset kalau pamannya melarang Rei masuk. Ruangan yang sudah bertahun-tahun Rei kenal tetapi terasa asing dimatanya.

Bau minyak wangi khas pamannya masih tersisa di ruangan itu, mengingatkan Rei pada pamannya. Rei menyusuri setiap buku-buku milik pamannya. membuka laci-laci yang berada di bawah rak buku. Tiba-tiba terlintas suatu ide di benak Rei.

"Ah iya bagaimana kalau aku pergi ke kantor polisi tempat paman bekerja saja. Mungkin paman ada disana, kalau tak ada aku bisa tanyakan dimana sekarang paman ditugaskan." Gumam Rei.

Rei segera berganti pakaian. Ia memakai kaos oblong dan celana pendek karena kebetulan cuaca sedang panas. Segera ia memakai sepatu sneakers nya dan keluar dari rumah setelah mengunci semua pintu.

"Hoi Rei!"

Rei tersentak, suara yang sangat familiar. "Ada apa ?"

"Kau mau kemana ? aku ikut, tunggu aku kunci rumah." Tanpa pikir panjang, Edo selalu saja seenaknya tanpa bertanya apakah Rei mau mengajaknya atau tidak. "Harusnya kau juga ajak Ina."

Rei menghembuskan nafas panjang. "Terserah kau saja lah, cepat panggil Ina." Rei berpikir kalau dia hanya berdua saja dengan Edo, pasti Edo akan membuatnya susah.

"Hehehe" Edo segera lari ke rumah Ina sedangkan Rei menunggu di bangku depan rumah Ina.

Tak lama kemudian..

"Eh Rei, kita mau kemana memang ?" Tanya gadis yang sudah ditunggu Rei.

Rei tidak bisa menjawab, dia tertegun melihat Ina.

"Apa yang sudah aku pikirkan sampai-sampai Ina ikut dengan kita. Padahal aku tau sendiri kalau Ina mudah lelah. Tapi aku juga ingin pergi bersamanya"

"Rei akan mengajak kita jalan-jalan, dia yang akan mentraktir kita." Kata Edo enteng.

"Ap-" Rei melihat wajah Ina yang kegirangan, dia mengurungkan niatnya protes. "Baiklah.. tapi jangan beli yang terlalu mahal."

Edo mengepalkan tangan. "Oke! Ayo kita pergi."

Mereka bertiga pergi menaiki bis kota, kendaraan favorit mereka. Sebenarnya letak kantor polisi tidak jauh dari kompleks rumah mereka, hanya saja Rei takut Ina kelelahan. Tidak seperti biasanya, bis yang mereka tumpangi sekarang kosong. Ya wajar saja sih karena bukan jam berangkat atau pulang para pekerja.

Sesampainya di kantor polisi, Rei meminta Edo dan Ina menunggunya di luar. Aku tak lama, tunggu disini. Rei menyuruh mereka duduk di bangku depan kantor. Segera Rei masuk.

"Eh Ina, kau tau kenapa Rei pergi kesini ?" Bisik Edo.

"Iya tau, kau pasti juga tau kan ?"

"Bagaimana kalau kita menguping." Saran Edo.

Ina memutar bola matanya. "Kau saja." Bagaimanapun Ina juga ingin tau dimana paman Rei berada.

Edo segera melakukan aksinya. Dilihatnya, Rei sedang berbicara dengan salah satu polisi yang terlihat sedikit akrab dengan Rei. Tubuhnya besar, gendut. Kumis lebat melengkung diantara bibir atas dan hidungnya. Di baju polisinya, terdapat banyak hiasan seperti pin. Sama seperti baju polisi yang biasa dikenakan paman selama ini.

Rei mulai bertanya. "Apakah Pak Deni tahu dimana paman ditugaskan sekarang ?"

"Maafkan saya nak, saya baru saja pulang dari tugas kemarin. Dan sebelu saya pergi ditugaskan, saya masih melihat paman kamu disini."

"Apa tidak ada catatan atau apalah yang menulis penugasan seseorang ?"

"Ada Nak, tapi saya harus hubungi ketua lebih dulu. Kau berikan nomor telponmu saja, nanti akan saya kabari."

Wajah Rei terlihat senang. "Tentu saja Pak, ini. Rei menunjukkan nomor telpon nya. Terima kasih banyak Pak, mohon bantuannya."

Pak Deni menepuk pundak Rei. "Tentu saja saya akan membantu Nak. Paman mu itu banyak membantu bapak dulu."

"Kalau begitu saya pamit dulu."

Edo melangkahkan kakinya menjauh, duduk di sebelah Ina. Dia tak ingin Rei melihatnya menguping.

"Bagaimana ?" Tanya Ina.

"Ssstt Rei datang."

Rei keluar dari kantor, menghampiri mereka berdua. "Sekarang kita mau kemana ?"

***

Update part setiap hari ^^

Jangan lupa kasih vote sama comment yaa Readers

Next part 'Ibukota'

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang