"Edo biar ku rapikan" Ina membantu Edo memakai jas di kamarnya. Dia terlihat gagah. "Kau terlihat lebih baik"
Edo tersenyum. "Bilang aja kegantenganku bertambah ketika memakai jas, iya kan ?"
Ina menyengir. "iih sapa yang bilang. Aku cuma bilang kau terlihat lebik baik memakai ini"
"Beneran ? Biar ku pastikan" Edo mendekatkan wajahnya ke wajah Ina.
Ina tersipu, salah tingkah. "Hei jangan terlalu dekat"
"Wajahmu memerah tuh"
Ina gelagapan. "O-oh mungkin habis kena panas makanya merah"
Edo manghembuskan nafas panjang. "Benarkah ?" Edo menggelitiki Ina.
Ina geli, tak tahan. "Sudah cukup Edo! Iya kamu terlihat lebih tampan. Puas ?"
Edo tertawa bangga. "Tentu saja puas. Terima kasih Ina aku pergi dulu"
Ina mengangguk.
Edo berjalan menuju pintu kamar, tiba-tiba langkahnya terhenti. "Kau akan menemui Rei ?"
Ina mengangguk mantap.
Edo diam sejenak. "Baiklah. Hati-hati"
"Good luck Edo"
Edo tersenyum meninggalkan Ina.
Segera Ina beberes, siap-siap. Dia mengunci pintu kamar dan segera keluar dari hotel. Lima menit kemudian dia sampai di tempat tadi. Tak ada siapapun. Ina sampai memastikan berulang kali bahwa dia tak salah tempat. Nyatanya benar. Ini adalah tempat dia bertemu Rei tadi. Tapi dimana Rei. Apa dia pergi ?
Ina memutuskan menunggu beberapa menit saja. Barangkali Rei pergi membeli minum. Ia duduk di salah satu bangku di pinggir jalan. Tanpa sadar tangan nya memegang sesuatu. Dia pun menoleh melihat. Origami bangau berwarna kuning.
"Rei ? "
Diamatinya origami tersebut. Di balik lipatan sayap kanan bangau terdapat tulisan aku minta maaf. Ina tersentak. Dia melanjutkan mengamati. Di sayap kiri terdapat tulisan selamat tinggal. Tiba-tiba air mata Ina jatuh tanpa ia sadari. Ia mengamati lagi origami itu. tak ada tulisan lain. Hanya dua kalimat itu saja.
Ina yakin sekali bahwa origami bangau itu milik Rei yang sengaja ditinggalkan untuknya. Apa maksudnya ? kenapa Rei tak mau menemuiku ? Apa dia tak ingin melihatku lagi ? Mengobrol denganku lagi ? Apa apa dia membenciku gara-gara waktu itu aku ngotot menghentikannya ? Semua pertanyaan itu muncul dalam pikiran Ina.
Sakit. Ina tak tau mengapa ia merasa seperti itu. Padahal dia sudah tak bertemu Rei lama, jadi kenapa bisa sesakit itu. Ina tak mengerti. Matanya tampak berkaca-kaca. Dia mengadah, menatap langit agar air matanya tak tumpah.
Apa ini akhir dari mereka ? Kisah mereka. Yang diawali dengan pertemuan menyenangkan saat-saat kecil dulu. Dan diakhiri dengan sebuah origami bangau kuning yang bertuliskan permintaan maaf dan salam perpisahan di masing-masing sayap bangau.
Ina bangkit, memutuskan pergi. Percuma. Orang yang ditunggunya tak akan datang. Jadi begini rasanya. Tiara, sekarang aku benar-benar paham apa yang kau rasakan saat itu. ini sungguh menyakitkan. Entah mengapa
Padahal kemarin malam Ina memutuskan untuk menerima kepergian Rei. Biarlah Rei pergi untuk mencari kebahagiaannya. Nyatanya, semua tekad itu pupus seketika bertemu dengan Rei. Saat itu Ina berpikir dia masih punya kesempatan berbaikan dengan Rei. Masih punya harapan. Dan sekarang Rei pergi meninggalkannya. Lagi.
Ina berjalan meyusuri jalanan ibukota. Melihat setiap gang diantara bangunan. Barangkali Rei masih disekitar sana, masih belum pergi terlalu jauh. Beberapa menit kemudian, dia sudah sampai di tikungan jalan. Nihil. Yang ia temukan hanyalah tong sampah yang sudah penuh, kucing liar, dan beberapa anjing liar menggonggong. Dia menghela nafas panjang.
Ia mengamati jalanan yang ramai, memutuskan hendak pergi kemana dia setelah ini. Tatapannya berhenti di sebuah jembatan yang berada persis di depan matanya. Tanpa sadar, dia melangkahkan kakinya, menyebrang. Menuju jembatan yang saat itu lumayan ramai pengunjung.
Jembatan itu dibangun diatas sungai yang lumayan lebar. Diatasnya, terdapat taman dengan beberapa air mancur yang letaknya menyebar. Dipenuhi rumput kecil yang dipisahkan oleh jalan setapak yang terbuat dari ukiran batu. Berbagai macam bunga tumbuh disekitar air mancur. Warna warni. Mungkin jika Ina datang kesini disaat suasana hatinya lebih baik, dia akan senang.
Ina memilih duduk di salah satu bangku taman yang kosong. Dia berbaring menatap langit. Cerah. Berbanding terbalik dengan suasana hatinya saat ini. Dia menutup wajah dengan tasnya. Memejamkan mata. Tak berniat tidur.
Setelah beberapa menit, Ina sadar kalau dia ketiduran. Segera Ia bangun, duduk. Dia mengamati sekitar, pengunjungnya sudah lebih sedikit dari sebelum Ina ketiduran. Dilihatnya bangku di depan Ina yang sebelumnya kosong, sekarang di duduki oleh pasangan suami istri. Mereka memunggungi Ina. Dari punggungnya, sang istri mengingatkan Ina pada mama.
Terlintas keinginan untuk menelpon mamanya. Menanyakan kabar. Bulan ini mama belum menelponnya sama sekali. Terdengar dering telepon di ponsel Ina. Tiba-tiba ponsel pasangan suami istri yang berada di bangku depan Ina berdering. Sang istri mematikan panggilan. Telepon Ina tiba-tiba terputus.
Ina mencoba menelpon mama nya lagi. Ponsel sang istri itu berdering lagi. Sang suami menyuruhnya agar mengangkat panggilan. Sang istri pun menurut. Dia berdiri, berjalan kedepan, menjauh dari suaminya. Sang suami tak begitu menghiraukan.
Nada dering di ponsel Ina tak lagi berbunyi. Namun terdengar suara dari sebrang telepon.
"Ina maaf, saat ini mama banyak pekerjaan. Nanti mama akan telpon lagi"
Ina tak fokus pada jawaban panggilan mamanya. Dia masih fokus memandang punggung sang istri yang sedang berbicara dengan seseorang di telepon. "Iya ma"
"Baiklah mama matikan dulu ya"
"Iya ma"
Sang istri tadi pun terlihat sudah selesai berbicara di telepon. Mengapa waktu nya sangat tepat saat mama Ina mematikan telepon ?
Sang istri berbalik badan. Inilah kesempatan Ina melihat wajahnya. Ina tersentak, kaget, tertegun secara bersamaan. Ponselnya terjatuh. Dia mengucek matanya. Tak percaya apa yang barusan dia lihat. Dia sempat berpikir apakah ini karena efek ketiduran barusan. Namun ini nyata. Perempuan itu mamanya. Perempuan itu kembali duduk di samping sang suami.
Ina berdiri, berjalan. Menghampiri mereka dengan sempoyongan. Dia menyipitkan matanya. Sekarang Ina berada tepat di depan mereka. Sang istri terlihat sangat terkejut. Sampai-sampai dia menjatuhkan ponsel yang sedari tadi dia pegang. Sementara sang suami bingung melihat Ina yang tiba-tiba berdiri di depannya.
"Mama ?"
Sang istri gelagapan, bingung apa yang harus dia katakan.
"Kau siapa Nak ?" Tanya sang suami.
"Dia mama saya, Om" Kata Ina dengan nada tinggi.
"Mama ?" Sang suami bingung. "Sayang, saat kita menikah kau bilang tak memiliki anak ? Kau membohongiku ?"
Sang istri terlihat makin bingung, dia berdiri. "B-bukan. Dia bukan anakku"
Ina tersentak. Dia tak pernah menyangka mama nya akan berbicara seperti itu. Tadinya mungkin Ina berusaha menerima jika mama punya suami baru tanpa sepengetahuannya. Tapi sekarang ? mamanya tak menganggap Ina anak kandungnya. Apa ini balasan menunggu setahun lebih mama nya pulang ? Balasan rindu yang selama ini ia tahan.
"Lalu siapa dia ? Kenapa dia mengaku sebagai anakmu ?" Tanya sang suami bingung.
"S-sebaiknya kita pergi dari sini sayang. B-banyak orang aneh disini" Sang istri menarik tangan suaminya. Pergi. Meninggalkan Ina.
Kaki Ina terasa lemas. Tak mampu menopang tubuhnya. Dia jatuh, terduduk di rumput. Menunduk dalam-dalam. Tangan nya mencengkram kuat rumput taman. Air matanya mengalir deras.
Mama...
Wah apa benar itu mama nya Ina ?
Apa.. Ina gak salah lihat ?
Menurut kalian gimana Readers ^^
Next part "Ina"
KAMU SEDANG MEMBACA
1000 Bangau [COMPLETED]
Romancepulanglah... apa kau tak rindu pulang ? apa kau tak rindu kota tempat tinggalmu ? kota yang amat sejuk dan menenangkan. kota yang menyimpan banyak kenangan yang telah kita ukir bersama. kota dimana janji-janji dibuat. kota dimana harapan-harapan dit...