MENERIMA

6 6 1
                                    

"Edo hari ini bisa pulang bareng ?"

"Maaf Ina. Hari ini aku ada rapat Osis untuk pengurus Osis baru dan setelah itu aku harus jaga kakek. Maaf, lain kali saja ya. Aku janji deh."

Ina tertawa. "Tak apa Edo. Titip salam buat kakek ya. Semoga beliau lekas sembuh"

Edo terlihat senang. "Bagaimana tidak ? Punya pacar pengertian adalah suatu hal yang harus disyukuri. Terima kasih Ina" Edo memeluk Ina.

Ina melepas pelukan Edo. "Edo ini masih di sekolah. Teman-teman mu pada lihat tuh."

"Aku tak peduli" Edo memeluk Ina lagi.

Kali ini Ina tidak meronta. Dia tersenyum. Membalas pelukan Edo.

Sudah enam bulan berlalu sejak mama memutuskan pergi. Ina tinggal bersama mbak Mina. Namun mbak Mina pulang ke kampungnya setiap sebulan sekali selama tiga hari atau lebih. Namun tidak sampai satu minggu seperti dulu, mbak Mina khawatir membiarkan Ina tinggal sendiri di rumah sebesar itu.

Keadaan kakek tak kunjung membaik. Semakin hari fisik kakek semakin melemah. Membuat Edo makin khawatir. Edo tidur dirumah sakit setiap malam menemani kakek. Perhatiannya pun terbagi-bagi. Untuk Osis, untuk kakek dan untuk Ina. Dan sampai saat ini pun Ina belum menceritakan apapun tentang mama pada Edo.

Tiba-tiba seseorang dari balik pintu mengagetkan mereka berdua. "Nah gini dong. Sekali-sekali bersikap romantis seperti ini."

"Lily ?"

"Baru kali ini aku lihat kalian seperti ini. Aku turut bahagia Ina." Lily berlari, memegang kedua tangan Ina.

"M-memang selama ini kita terlihat bagaimana ?" Tanya Ina.

"Kalian tak terlihat seperti sepasang kekasih. Berantem sana berantem sini. Tak ada yang berubah dari kalian. Tak ada bedanya antara menjadi sahabat dan menjadi pacar."

Ina berpikir. Benar kata Lily. Tetapi dia sama sekali tak tau pacaran yang seharusnya itu bagaimana.

"Tak usah didengarkan kata-kata Lily, Ina. Dia hanya iri pada kita. Hubungan yang seperti ini saja sudah cukup bagiku." Kata Edo sambil menatap pemandangan dibalik cendela kelas.

"Aduhh kau itu tak usah memboohongi perasaanmu seperti ini Edo. Bagaimanapun kau ingin lebih dari ini kan. Ayo lah jangan berbohong padaku. Kau hanya takut Ina-"

"Cukup Lily" Potong Edo. "Lebih baik kau temui Arka sekarang daripada terus mengoceh disini. Tuh lihat dia kebobolan gawang lagi."

Lily melotot, mendekati Edo. Melihat apakah benar yang dikatakan Edo. Dari cendela kelas, dia bisa melihat Arka sedang frustasi. Duduk di pinggir lapangan. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dia sudah minum dua botol air mineral sekali teguk. Tim nya berusaha menenangkan dan menyuruhnya bangkit lagi.

Edo tersenyum sinis. "Buruan sana. Kau masih ingin melihat kekasihmu dihajar lagi oleh lawan ?"

"Diam kau Edo. Arka tak akan kalah." Lily buru-buru pergi meninggalkan kelas, menuju lapangan futsal.

Edo melambaikan tangan dan tertawa puas. "Ina aku kembali ke kelas dulu. Sampai nanti." Edo beranjak pergi.

Tiba-tiba Ina memgang tangan Edo. Membuat langkah Edo terhenti. "A-ada apa Ina ?"

Ina menatap Edo. "Tolong tetap disini sampai bel masuk."

Edo tersenyum. Mengangguk. Dia duduk di kursi kosong samping Ina.

"Anu.. Edo-"

"Kau mau membicarakan apa yang Lily baru saja katakan kan ?"

Ina diam.

"Ina, aku sudah bilang. Aku senang dengan hubungan yang seperti ini saja."

"Tidak Edo. Tidak, tolong jangan seperti ini. Aku juga ingin tau bagaimana pacaran yang sesungguhnya. Aku aku ingin memahami apa yang kau inginkan. Aku ingin tau segalanya. Aku ingin lebih dekat lagi denganmu." Wajah Ina memerah.

Edo menghembuskan nafas. "Baiklah jika itu maumu. Lalu mulai sekarang aku harus bagaimana ?"

Ina berpikir sejenak. "Kau harus mengatakan padaku apapun yang kau inginkan. Tolong jangan menahannya lagi."

"Oke akan aku lakukan"

Ina tersenyum lebar.

***

Sepulang sekolah, Ina memutuskan untuk tak langsung pulang ke rumah. Dia ingin menyegarkan pikirannya yang campur aduk sejak enam bulan lalu. Semua usaha sudah ia lakukan. Namun percuma. Pikirannya sudah kacau balau sampai saat ini pun.

Dia memutuskan berjalan kaki. Tak naik bis. Siapa tau di jalan dia menemukan sesuatu untuk menghibur hatinya. Jam siang begini memang tak banyak orang berlalu lalang. Ibu rumah tangga mungkin sedang menidurkan anaknya, kalau tidak ya membereskan rumah, memasak. Para pekerja lagi malas-malasnya keluar kantor. Cuaca panas. Dapat menguras energi.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Dari tempatnya berdiri, terlihat tebing berdiri dengan gagahnya melindungi kota. Dibalik tebing terdapat hutan yang tak luas. Sehingga orang-orang bisa dengan mudah pergi kesana. Ina baru tau, di samping tebing itu dibangun tangga untuk lebih memudahkan menuju tempat itu. Terlihat seperti bangunan baru.

Mungin selama ini Ina tidak menghiraukan tempat itu karena memang letaknya agak jauh dari rumah. Selain itu memang dia sudah tak ingin pergi ke tempat itu. Membuatnya teringat seseorang. Namun hari ini ada suatu energi yang mendorong langkahnya agar mencapai tempat itu. Entahlah. Sekarang dia sudah mulai menaiki tangga.

Dari atas tebing, Ina dapat melihat pemandangan kota tempat tinggalnya. Gedung-gedung yang jumlahnya tak banyak, mall, serta pusat hiburan berada di tengah kota. Sedangkan dipinggirnya terdapat petak-petak sawah. Dari sana pula dia dapat melihat atap sekolahnya. Tempat dimana dia merasakan kehangatan untuk pertama kali.

Pemandangan itu masih sama seperti pertama kali dia mengunjungi tebing. Ketika dia saat itu sedang dilanda kesedihan untuk pertama kalinya. Ketika dia mulai belajar pelajaran keikhlasan dan penerimaan. Ketika dia mulai meyakini kata-kata seseorang. Dan ketika dia merasakan ketenangan berada di samping seseorang.

Sungguh. Tebing itu menyimpan kenangan tentang seseorang itu. Membuat Ina mengingat sosok itu lagi. Semua usaha yang telah ia lakukan untuk melupakan seseorang itu kini sia-sia. Dia teringat lagi. Kenangan bersamanya. Hal-hal kecil yang ia lakukan bersama seseorang itu terasa begitu menyenangkan.

Mungkin kau benar, seharusmya aku cukup menerima kepergianmu.

Bukan melupakan sosok dan kenangan bersamamu.

Next Part "Tebing"

1000 Bangau [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang