Percuma ganteng, tapi gak bisa dimiliki.
Alarm yang berbunyi melengking seakan sudah menjadi ciri khasnya tersendiri ketika pagi telah datang. Terbiasa bangun pagi-pagi sekali tak membuat cowok itu terganggu dengan bisingnya suara alarm dari ponselnya sendiri. Meski dirasa luka bengkak pada wajah belum sepenuhnya sembuh juga tak membuat cowok itu malas untuk berangkat sekolah.
Ia bangkit membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon untuk sekedar menikmati udara bersih di pagi hari. Udara yang masih belum ternoda oleh beberapa liter karbondioksida yang dikeluarkan oleh pernafasan orang-orang jahat.
"Mas," panggil Bi Ida dari lantai bawah, tengah menyapu pekarangan samping rumah.
Althaf mendekatkan diri pada pagar pembatas balkon dan mendapati Bi Ida di bawah sana. "Iya, Bi?"
"Sudah bangun?"
"Belum."
Bi Ida terkekeh pelan, "Mas mandi gih, Bi Ida siapin sarapannya."
Althaf mengangguk singkat, "Mama papa belum pulang?'
"Belum, Mas."
Althaf kembali mengangguk mengerti. Memang kenapa bila kedua orang tuanya sibuk oleh kesibukannya sendiri, toh Althaf tidak peduli. Biarkan mereka sibuk dengan dunianya sendiri, Althaf pun akan menyibukkan diri dengan dunianya sendiri.
Ia menutup kembali pintu kaca tersebut dan bergegas untuk membersihkan diri. Namun, sebelum itu, langkahnya terhenti kala ia melewati kaca setengah badan yang terpajang di tembok menuju kamar mandi. Diperhatikannya luka membengkak di wajah yang belum sepenuhnya mengempis setelah diolesi salep semalam.
"Bengkak segini doang gak mempengaruhi wajah gue yang ganteng," ucapnya seraya menyentuh beberapa titik luka bengkak itu berada.
"Bengkak ini pertanda bahwa gue kapten bijaksana yang berjuang menempatkan nama sekolah di babak final besok," ucapnya kembali.
"Apaan sih, Al. Kurang kerjaan banget lo," rutuknya pada diri sendiri setelah dirasa dirinya bersikap bodoh dengan berbicara dengan dirinya sendiri di depan kaca.
Ia cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi sebelum godaan kaca yang memantulkan sosok dirinya itu kembali menggoda.
"ABANG CEPETAN! ARA SUDAH SARAPAN NIH," pekik Ara dari balik pintu kamar mandi.
Sedangkan Althaf di dalam sana masih belum menggosokkan sabun ke badannya sedikit pun. "Baru aja Abang masuk kamar mandi, Ara."
"GAK MAU TAHU POKOKNYA CEPETAN, ARA TUNGGU DI MEJA MAKAN," pekiknya lagi sembari pergi dari balik pintu kamar mandi.
Yang dipermasalahkan di sini, kenapa Ara selalu menggunakan intonasi yang tinggi tiap kali berbicara dengannya. Lagipula Althaf tidak tuli dan tidak memiliki gejala-gejala gangguan telinga lainnya.
***
Althaf memasuki ruang kelas dengan beberapa sambutan-sambutan khusus untuk dirinya.
Sambutan pertama berbunyi, "Selamat datang kapten tim kesebelasan SMA Garuda yang telah membawa nama sekolah menuju babak final besok!" kata Alva.
Sambutan kedua berbunyi, "Terompet mana terompet, woy!" kata Alan.
Sambutan ketiga, "Tepuk tangannya mana, teman-temanku," kata Aldo.
Seketika suara tepuk tangan para penghuni kelas 11 IPS 1 membuat gempar seisi koridor lantai 2 yang berisikan seluruh siswa kelas 11. Banyak dari anak kelas lain yang melintas di depan kelas 11 IPS 1 dibuat tercengang sesaat. Ada apaan sih? Mungkin begitu yang mereka pikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA
Teen FictionAlthaf Bagaskara, si penguasa lapangan sepak bola yang memiliki aura menakjubkan tiap kali mengeluarkan keringat deras setelah mencetak gol di lapangan. Kepribadian yang suka mencari kesibukan membuatnya terfokus pada kesibukan yang tengah diemban...