Bukannya suatu impian akan terwujud jika ada kemauan untuk mewujudkan mimpi tersebut?
"Kamu cemburu sama dia?" tanya cowok itu masih berusaha menanyakan perihal cemburu.
"Lawak lo." Setelah itu sambungan terputus.
Althaf terkekeh tanpa henti, bagaimana bisa seorang bi Ida membuat cemburu Zara yang terkesan jarang sekali itu terpancing begitu saja. Ya, Althaf memang menganggap Zara jarang sekali cemburu kepadanya, terlebih kepada wanita-wanita yang sering berada pada satu kegiatan bersamanya. Namun, opininya itu salah besar.
Coba dipikir baik-baik, apakah seorang wanita mampu terlihat baik-baik saja kala lelakinya dekat dengan wanita lain di luar sana? Apakah seorang wanita mampu terlihat baik-baik saja kala lelakinya bersikap welcoming dengan wanita lain di luar sana? Tentu saja tidak, setegar apa pun wanita tersebut, tidak akan mampu menyembunyikan cemburu yang menggebu.
Ketika Althaf bersikap welcoming dengan teman-teman wanitanya, baik itu di organisasi maupun di kelas, Zara mencoba bersikap baik-baik saja. Pun ketika Althaf bersikap murah hati dengan mengantarkan teman wanitanya sepulang rapat inti OSIS, Zara mencoba untuk terlihat baik-baik saja di hadapannya. Ini tidak mudah, tetapi bagi Zara bersikap baik-baik saja tidaklah sesulit yang mereka kira.
Tidak ada yang salah dari caranya yang pura-pura terlihat baik-baik saja. Lagipula dengan adanya ini, Zara harus menyalahkan siapa atas sakit hati yang ia derita? Ia harus menuntut siapa untuk bertanggung jawab atas luka yang ia terima? Althaf? Tentu tidak, karena sikap welcoming merupakan sikap cowok itu dari lahir, tidak terubah oleh apa pun dan oleh siapa pun. Yang perlu disalahkan di sini yaitu diri Zara sendiri, terlihat payah untuk bersikap baik-baik saja tapi masih memilih untuk bertahan dengan Althaf, si cowok yang selalu menuntutnya untuk pura-pura bersikap baik-baik saja.
Lupakan perihal ini.
Althaf meletakkan ponselnya, kembali mengetik proposal yang tengah ia sibuki kali ini. Proposal pengajuan dari anak OSIS untuk melakukan acara bakti sosial ke beberapa panti di kota ini. Meski kegiatan tersebut masih masuk dalam agenda minggu depan, tak membuat Althaf serta merta mengabaikan proposal tersebut.
Tak berapa lama, dering ponselnya kembali terdengar. Nazril menelponnya.
"Althaf!" ucap seorang lelaki paruh baya di seberang sana dengan intonasi bicara yang sama sekali tidak pelan.
"Iya?"
"Lupa dengan jadwal bimbel atau pura-pura lupa?! Jawab!"
Althaf diam.
"Jangan jadikan jarak saya yang jauh dari kamu membuat kamu melanggar peraturan dari saya. Cepat berangkat ke bimbingan belajar tanpa kendala apa pun."
"Hmmm."
"Kalau sampai papa tahu kamu tidak datang ke bimbingan belajar, jangan harap hidupmu tenang."
Lagi-lagi panggilan terputus secara sepihak.
Althaf tertawa hambar, memangnya dengan ia datang ke bimbingan belajar hidupnya akan tenang? Bahkan dengan rutinnya ia datang ke bimbingan belajar sekalipun, hidupnya tetap tidak tenang.
Yang ia inginkan hanyalah berprestasi di bidang non akademik, bukan bidang akademik yang kedua orang tuanya inginkan sampai-sampai rela mendaftarkannya di bimbingan belajar yang terkenal dengan biaya yang tidak bisa dibilang murah. Bagi Althaf, hal ini percuma saja, kemampuannya bukan di bidang akademik lantas kenapa masih dipaksakan unggul di bidang akademik? Jika Althaf sendiri saja tidak berminat unggul di bidang tersebut, bagaimana bisa keinginan kedua orang tuanya akan terwujud? Bukannya suatu impian akan terwujud jika ada kemauan untuk mewujudkan mimpi tersebut? Althaf bahkan tidak mau.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA
Teen FictionAlthaf Bagaskara, si penguasa lapangan sepak bola yang memiliki aura menakjubkan tiap kali mengeluarkan keringat deras setelah mencetak gol di lapangan. Kepribadian yang suka mencari kesibukan membuatnya terfokus pada kesibukan yang tengah diemban...