Aku jatuh cinta pada sabarmu menghadapiku. Aku jatuh cinta pada tatap teduhmu yang menenangkanku. Aku jatuh cinta pada segala hal tentangmu lebih dari yang kamu tahu.
Sorakan para supporter memenuhi area lapangan outdoor milik SMA Pancasila. Berbagai macam cara memeriahkan kemenangan telah dierahkan begitu tiupan peluit wasit berbunyi nyaring pertanda permainan babak kedua telah usai.
Petasan tanpa ledakan yang hanya mengeluarkan warna bermacam-macam itu sudah memadati lapangan. Pukulan drum milik supporter, tiupan terompet yang terdengar memekakkan telinga, hingga banyaknya potongan-potongan kertas yang jatuh dari atas pun ikut andil dalam memeriahkan kemenangan turnamen kali ini.
Begitu penyerahan piala dilaksanakan, sang kapten maju ke depan mewakili kesebelasan SMA Garuda yang telah menjabat sebagai juara satu.
Begitu panitia menyerahkan trophy bergilir, suara ricuh penonton kembali terdengar. Begitu pun seterusnya ketika panitia kembali menyerahkan piala Juara 1 serta hadiah tambahan berupa uang sebesar jutaan rupiah, ricuh penonton tak dapat didefinisikan lagi.
"Gue seneng banget, bangke!" kata Alan.
"Sumpah gue bangga," kata Aldo membuat Althaf merasa sangat tersanjung, "bangga sama diri gue sendiri maksutnya."
"Begitu duwit cair, auto traktiran dah. Uhuy!" kata Aldo lagi.
"Thanks, bro. Gue ngaku lo keren sebagai kapten," kata Alva.
"Kak, saat lo pensiun nanti, gue yang gantiin lo jadi kapten, ya?' mohon Dave selaku tim kesebelasan SMA Garuda yang masih menduduki bangku kelas 10.
Althaf mengendikkan bahunya acuh. Disaat kawan-kawannya yang lain memujinya, yang paling dibutuhkan cowok itu saat ini hanyalah pujian dari orang tua serta pelatih yang telah melatihnya sepenuh waktu.
Althaf berjalan ke tempat sang pelatih istirahat, masih dengan beberapa hadiah kemenangan di tangannya. "Pak, terima kasih, untuk semuanya," ucapnya banyak jeda seraya menyodorkan kedua piala itu beserta hadiah tambahan kepada pelatihnya tersebut.
Pak Eric tak banyak cakap. Baginya kalimat pujian yang mana lagi yang akan ia lontarkan teruntuk murid kebanggannya ini. Ia rasa tanpa dipuji pun, sorot matanya sudah cukup mengartikan bahwa ia teramat senang hari ini dan teramat berterima kasih atas kemenangan kali ini.
"ALTHAFNYA GUE!!! YA AMPUN SUMPAH YA GUE GAK NYANGKA TIM KITA BAKAL MENANG," pekik Arista sembari menghambur ke pelukan Althaf. Persetan dengan situasi dan kondisi yang sempat dipikirkan cewek itu tadi, pada intinya cewek itu hanya ingin menyalurkan betapa gembiranya ia saat ini.
Althaf tak ingin munafik jika hatinya menghangat begitu pelukan Arista mendarat di dadanya yang bidang. "Gue cuma butuh kalimat pujian dari keluarga gue, gak lebih," begitu katanya.
Arista semakin mengencangkan pelukannya, merapatkan pipinya pada dada bidang cowok itu, meski Althaf sama sekali tak berniat memeluknya balik. "Gue bangga sama lo, sangat."
"Gue gak butuh kalimat pujian dari lo."
"Gue bangga sama lo mewakili om Nazril, tante Yumna, dan Ara. Gue bangga sama lo," tutur Arista lagi penuh penekanan, berusaha menguatkan lelaki yang pura-pura terlihat tegar nan keren itu.
Sementara di lain sisi, di tengah-tengah lapangan,
"Eh buset! Bel pulang Pancasila udah bunyi, dan si Althaf dengan begonya pelukan sama cewek lain di kandang pacarnya, entar si Zara lihat kan asik noh urusannya," seru Aldo heboh begitu telinganya mendengar bel pulang sekolah berbunyi.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA
Fiksi RemajaAlthaf Bagaskara, si penguasa lapangan sepak bola yang memiliki aura menakjubkan tiap kali mengeluarkan keringat deras setelah mencetak gol di lapangan. Kepribadian yang suka mencari kesibukan membuatnya terfokus pada kesibukan yang tengah diemban...