20 | B a g a s k a r a

238 13 0
                                    

Bersama dengan ragamu hari ini, itu sudah lebih dari cukup -Kirei

Setelah beberapa hari kemarin Althaf bergelut dengan kekacauan, kini lelaki dengan gigi gingsul itu kembali menata aktivitasnya sehari-hari. Dimulai dari berangkat sekolah pagi-pagi sekali, mengantarkan Ara, sampai dengan menghadiri bimbingan belajar.

Pada pembukaan pagi harinya, Althaf sudah dihadapkan pada suara cempreng milik Ara. Bocah cilik itu terlihat berlarian menuruni anak tangga, membawa tas sekolah, sepatu beserta kaos kaki putih yang akan dipakainya hari ini.

"Abang! Nitip ini, ya. Aku mau pipis," katanya tergopoh-gopoh seraya meletakkan asal tas, sepatu serta kaos kakinya tadi pada kursi yang terletak di sisi Althaf.

Althaf yang melihat itu hanya mendengus, sedikit geli banyak kesalnya.

"Mau ke kamar mandi atas?"

"Iya."

"Di sini kan juga ada kamar mandi, Dek."

"Gak mau, banyak kecoanya."

Berada pada dunia Althaf, rasa-rasanya sudah tidak heran lagi melihat Ara setengil ini.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6, dan kini Althaf masih duduk di meja makan seraya meneguk susu yang telah disediakan bersama sarapan. Terlihat sesantai itu sampai-sampai Bi Ida yang melihatnya jadi kebingungan sendiri, biasanya di jam segini anak dari tuan rumahnya itu sudah tergopoh-gopoh mencari kunci motornya.

"Mas kok belum berangkat?" tanya wanita paruh baya itu sembari mengelap kaca dari meja makan yang Althaf tempati.

Althaf menoleh, mencetak senyumnya sekilas, "Biasa, Bi. Tuan Putri masih belum turun."

Mendengar itu, Bi Ida langsung menegakkan punggungnya. Diletakkannya serbet itu begitu saja, setelahnya ia mulai melangkahkan kaki lebar-lebar menaiki anak tangga menuju lantai atas; kamar tidur Ara. Untuk urusan mengomeli bocah kecil itu, Bi Ida adalah Ibu kedua setelah Yumna.

"Dek Ara, itu Mas Althafnya udah nunggu di bawah, nanti kesiangan piye? Duh gusti, nak!" Sayup sayup Althaf dapat mendengar omelan Bi Ida dari lantai bawah.

Tak lama dari itu sebuah suara khas anak kecil terdengar, "Bibi, kaos kaki Ara hilang ih, gimana? Nanti--."

"Dicari dulu."

"Enggak ada. Ara udah nyari kemana-mana."

"Kalo sampai Bibi nemuin, kugigit kamu, ya!"

Althaf tertawa, demi apa pun ini masih pagi dan lawak di rumahnya ini receh sekali.

"Abang, ya?!" tuduh Ara yang tiba-tiba saja sudah berdiri tegap di sisi Althaf.

"Apa?" balas Althaf linglung. Entah apa yang dituduhkan Ara kepadanya, kali ini ia terlihat bodoh di depan anak kecil.

Ara diam, gadis kecil berambut hitam legam itu sibuk mencari benda kecilnya yang hilang. Hingga sebuah kain berwarna putih terlihat menyumbul keluar dari dalam sepatu membuat perhatiannya teralihkan sepenuhnya.

"Tuhkan Abang!!!" pekik Ara kesal setengah mati. Kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi membawa serta benda kecil yang dicarinya; kaos kaki.

Althaf menghela nafas kasarnya, "Tadi yang bawa barang-barang ini kesini siapa?" katanya dengan menunjuk tas dan sepatu Ara.

"Ara," cicit Ara. Gadis itu mulai memasangkan kaos kaki pada kedua kakinya.

"Kenapa jadi nyalahin Abang?"

"Ya udah Ara yang salah."

"Dih, emang Ara salah. Pelupa, sih."

"Ya udah iya Ara salah!"

BAGASKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang