Kita bagi tugas, ya. Kamu yang membuat kisah, aku yang menulis naskah. Gimana?
Bel pulang SMA Pancasila sudah berbunyi lebih dari setengah jam yang lalu. Namun, terlihat dua orang siswinya masih enggan meninggalkan sekolah itu. Mereka tengah sibuk berdebat hingga salah satu dari keduanya gemas ingin mengacak-acak muka sang lawan debat.
Entahlah apa saja yang mereka perdebatkan sampai membuat mereka terlihat seperti orang tidak waras. Terkadang tawa mereka terbahak-bahak, tak berapa lama mereka kembali berdebat hebat. Ah sudahlah.
Beberapa jam yang lalu.
Zara dibuat melamun selama beberapa menit. Pasalnya pelajaran di jam terakhir ini tidak dimasuki oleh guru pengajar sampai bel pulang berbunyi membuat Zara bosan di kelas dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sebelum bel pulang benar-benar dibunyikan, Nazla yang saat itu sibuk memasukkan alat-alat tulis beserta buku-bukunya sempat tersadar oleh lamunan Zara. Gadis itu terlihat tengah menatap ke arah satu titik dengan pandangan yang kosong.
Seakan tidak mau melihat Zara melamun semakin lama, Nazla menyenggolnya keras-keras membuat yang tersenggol memekik kaget.
"Ngelamun aja kerjaan lo!" sembur Nazla berusaha acuh dengan pelototan Zara. "Apa lihat-lihat? Anjir lo gak lagi kerasukan, kan?!" sambung Nazla jadi heboh sendiri setelah melirik Zara sekilas.
"Enak aja!" ketus Zara. Selanjutnya gadis itu jadi mengikuti apa yang Nazla lakukan, memasukkan alat-alat tulis beserta buku-bukunya ke dalam tas.
"Ngelamunin apa sih?"
Sembari memasukkan sebagian bukunya yang lain, Zara membalas, "Gue kangen."
"Siapa?"
"Althaf."
"Bucin lo," sahut Nazla dengan tawa kurang ajarnya.
"Bucin, ndasmu. Gue serius, Naz."
Mendengar nada bicara Zara yang sungguh-sungguh membuat Nazla melunturkan tawanya, "Susah emang berhadapan sama bucin. Dia belum kasih kabar sama sekali?"
Zara menggeleng lemah.
"Lo gak ada usaha buat menghubungi dia gitu?"
"Gengsi dong. Masa iya cewek duluan."
"Duh, Zara. Kadang di saat saat tertentu tuh kita sebagai cewek harus mau maju lebih dulu, gak melulu cowok!"
"Tapi--."
"Udah deh ah! Gue kasih saran dan lo harus nurut. Gini, nanti pulang sekolah lo gak perlu naik angkot, stay di sini sampai sore, minta Althaf buat jemput."
"Stay di sini sampai sore?"
Nazla mengangguk ringan tanpa beban.
"Lo pikir uji nyali?!" sewot Zara tidak setuju dengan saran tersebut.
"Kalo gak sampai sore dan masih ada angkot di depan, Althaf gak akan semudah itu mau jemput lo. Bisa-bisa lo disuruh naik angkot gitu aja, mau?" ancam Nazla tidak ingin sarannya ditolak mentah-mentah.
Setelahnya dua anak manusia itu berdebat hingga sekarang ini.
Tepat di lahan parkir milik SMA Pancasila, Zara dan Nazla masih sibuk mendebatkan permasalahan yang sama seperti tadi. Kali ini ditambah Nazla yang terlihat buru-buru ingin segera pulang, terlihat dari gelagatnya -memutar gantungan kunci motornya di jari telunjuk, sementara Zara masih terlihat enggan menghubungi Althaf lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA
Teen FictionAlthaf Bagaskara, si penguasa lapangan sepak bola yang memiliki aura menakjubkan tiap kali mengeluarkan keringat deras setelah mencetak gol di lapangan. Kepribadian yang suka mencari kesibukan membuatnya terfokus pada kesibukan yang tengah diemban...