Jangan mudah cemburu, sayang. I love you.
Selalu ingat kenyataan bahwa kamu tidak lebih hanyalah anak angkat.
Bukan, bukan tanpa alasan Nazril selalu menekankan kalimat itu tiap kali berhadapan dengan Althaf, si anak angkat tersebut. Selain memang kenyataannya seperti itu, Nazril ingin Althaf tumbuh menjadi lelaki berhasil tanpa mengandalkan harta maupun jabatan orang tua.
Hanya karena ia mengadopsinya, hanya karena ia telah membawanya ke kehidupan yang lebih layak, ia tidak ingin Althaf merasa 'sok' akan kehidupannya yang sekarang dan berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan masa depan yang telah ia tetapkan untuknya.
Althaf paham betul dengan pemikiran lelaki paruh baya itu. Akan tetapi mau bagaimana pun tetap saja Althaf tidak senang ketika kalimat itu diucapkan lebih dari satu kali dalam sehari.
Lelah berkecamuk dengan berbagai macam persoalan yang bersarang di otaknya, Althaf jadi merebahkan tubuh di atas kasur tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar, tatapannya kosong enggan berkedip juga enggan menggerakkannya barang setitik.
Sepersekian menit selepas itu, ia meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja di sisi ranjang.
Zara, nama yang tiba-tiba muncul di benaknya saat lelaki itu membaca sederet pesan yang masuk ke ponselnya. Diantara pesan-pesan dari beberapa teman wanitanya, tidak ada satu pun pesan dari Zara. Kemana gadisnya pergi, mengapa dalam satu hari –oh tidak, dua hari- gadisnya sama sekali tidak mengirim pesan untuknya.
Kalut? Sangat. Bahkan ia semakin kalut ketika ingatan mengenai Ken yang menyinggung perihal Zara tadi sore kembali bersarang di otaknya. Katanya gadis itu terluka karenanya, sedang ia sendiri bingung dimana letak kesalahannya. Jika memang benar Zara terluka hanya karena Arista, mengapa bisa Zara terluka semudah itu? Sementara baginya, Zara bukanlah wanita yang mudah cemburu hanya karena hal sepele. Selain itu pun Zara tahu Arista sebatas teman wanita Althaf, tidak lebih.
Layar ponsel kian menghitam, dihidupkannya lagi ponsel itu hingga layarnya menampilkan potret mereka berdua yang sengaja Althaf pasang sebagai lockscreen. Dalam potret tersebut kentara sekali bahwa saat itu hubungan mereka masih baik-baik saja, tidak seperti sekarang.
Di sana Zara dengan Althaf tengah berdiri sejajar dengan kepala gadis itu yang sedikit menempel di dada bidangnya yang masih terbalut jersey. Zara tersenyum manis, sedang Althaf tertawa lebar hingga nampaklah gigi-gigi gingsul itu.
Diusaplah wajah manis itu, hingga senyum Althaf pun turut terbit, "Jangan mudah cemburu, sayang. I love you."
***
Meski sempat teralihkan oleh sosok Zara Humaira tak membuat Althaf lupa begitu saja dengan permasalahannya saat ini. Nyatanya sekarang lelaki itu lagi-lagi terdiam, bergelut dengan berbagai macam opini otak dan hatinya yang tak pernah searah.
Ia bangkit dari posisi terlentangnya, bergerak cepat meraih jaket dan kunci motor yang tergeletak pada meja yang sama. Tidak peduli dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya, yang Althaf butuhkan saat ini hanyalah pergi sejauh mungkin dari kamarnya yang sunyi.
Ya, di saat seperti ini lelaki itu sangat membenci tempat-tempat sunyi. Sebab suasana yang seperti ini membuat Althaf mengingat permasalahannya dengan mudah.
"Sudah, ya. Jangan nangis," tutur Althaf lembut begitu penglihatannya menangkap satu bulir air mata berhasil lolos dari pelupuk mata gadisnya.
"Tapi-,"
Dengan gemas Althaf segera membungkam mulut Zara, membawa gadis itu kedalam dekapannya dan menenggelamkannya di sana agar tak dapat lagi berucap ketika tangisnya pecah seperti ini. Althaf tahu sakitnya tenggorokan ketika berucap di saat terisak. Seperti ada banyak hal yang ingin diucap tapi tercekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
BAGASKARA
Teen FictionAlthaf Bagaskara, si penguasa lapangan sepak bola yang memiliki aura menakjubkan tiap kali mengeluarkan keringat deras setelah mencetak gol di lapangan. Kepribadian yang suka mencari kesibukan membuatnya terfokus pada kesibukan yang tengah diemban...