13. Ruang Khayalan

1K 58 0
                                        

               Sesampainya di apartemen, benar saja sudah berdiri dua orang berbalut jaket hitam, di depan pintu. Ketika masuk, Bi Suti tengah memasukan baju-baju ke dalam koper besar.

"Bi, biar Lisa bantu,"

"Non, setelah ini kita kembali ke rumah Tuan Hendra?"

"Enggak Bi, Lisa gak mau tinggal sama mereka,"

"Lalu kita kemana non?"

Lisa bingung sendiri meratapi nasibnya, setelah ini ia akan kemana?menyewa apartemen lagi atau kontrakan? Ia tak punya cukup uang untuk itu, tabungan Sarah habis semua untuk mengganti hutangnya pada perusahaan Hendra. Ia tak tega
Melihat Sarah yang sedari tadi terdiam menatap jendela, kadang Sarah bisa sediam itu, tapi kadang ia bisa berteriak-teriak seperti orang gila.

"Mah, Lisa gak tau kita mau kemana sekarang,"

"Kalo Lisa ke rumah papa, nanti Lisa pisah sama mama, Lisa gak mau mah,"

"Lisa juga gak punya uang buat sewa apartemen mah,"

Mendengar itu, Al yang sedari tadi duduk di sofa depan, mempunyai ide cemerlang.

Ia membeli apartemen kosong, tepat di sebelah apartemen Lisa, untung ada apartemen yang kosong menurutnya membeli apartemen itu adalah uang jajannya selama satu minggu, sungguh Al sangat kaya, eh orangtuanya.

"El, lo pindahin barang lo ke apartemen sebelah aja,"

"Hah?"

"Hah,he, ho, udah cepet itu dua orang di depan udah berisik,"

"Tapi, di sebelah apartemen siapa?"

"Bokap gue,"

Terpaksa Al harus berbohong, ia tak mungkin mengatakan kalo ia membeli apartemen itu untuk El.

Setelah memindahkan barang - barang, dan kedua orang jaket hitam tadi pergi setelah menerima kunci, El merasa tidak enak dengan Al, ia sudah banyak membantunya.

"Al, ini gue serius gapapa tinggal di apartemen bokap lo?"

"Iya,"

"Gue harus bayar berapa?"

"Gausah,"

"Tapi.. Gue gaenak Al,"

"Em.. Lo harus bayar pake senyuman lo setiap hari!"

"Hah?"

"Lo harus tersenyum setiap hari,"

"Itu aja?"

"Iya,"

"Ok,"

Setelah perbincangan mereka, Al berpamitan dengan El serta Sarah dan Bi Suti.

                              *****

             Pagi hari yang cerah, El sebisa mungkin memperlihatkan senyumnya, ia tak mau mengingkari janjinya pada Al, untuk tersenyum setiap hari, bukankah itu hal yang mudah? Tapi tidak bagi El, bagaimana ia bisa tersenyum ditengah kondisi mamanya yang tak kunjung ada perubahan.

"Lisa, tunggu," teriak Naya yang membuat El memberhentikan  langkahnya.

"Kenapa?"

"Lo dipanggil kepsek noh,"

"Hah?ada apaan emang?"

Naya menggedikan bahunya tanda tidak tahu.

"Yaudah gue ke sana dulu," ucap El lalu meninggalkan Naya.

Setibanya di ruangan kepala sekolah, Dugaan El benar ternyata masalah biaya. Sekolah El memang bisa dibilang sekolah yang cukup Elite, tentu saja dia masuk ke sekolah itu karena keinginan papanya.

RASA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang