Episode 8

172 23 16
                                    

Kadang Ayran merasakan dunia ini begitu tidak adil bagi kaum hawa, terutama saat jatuh cinta. Jika kaum adam bebas mengekspresikan dan mengejar perempuan yang dicintai, sangat berbeda dengan kaum hawa yang kebanyakan selalu memendamnya. Menyimpan segala rasa cinta untuk dirinya sendiri. Jika beruntung, laki-laki yang dicintai bisa saja balik menyukainya dan akhirnya menyatakan perasaannya lebih dulu. Sayangnya dunia tidaklah sebaik itu. Tidak semua cinta yang berdiam dalam satu hati berakhir bahagia. Kebanyakan cinta itu bahkan harus berakhir tragis dengan sang laki-laki yang tidak pernah menyadari cinta sang perempuan. Miris, tapi memang begitulah adanya.

Dan ... apakah perasaan Ayran juga akan berakhir tragis? Pasalnya ini sudah dua minggu sejak kejadian meminjam buku Ahva dan sama sekali tidak ada kemajuan juga tanda-tanda laki-laki itu akan menjadi masa depannya. Fakta itu belakang ini membuat Ayran agak pesimis dan kehilangan semangat. Apa lagi beberapa hari kemarin Ayran sempat melihat ada seorang adik kelas yang lumayan cantik-walau sebenarnya Ayran yakin jika dirinya lebih cantik-mendatangi Ahva dengan gaya centilnya.

Kesal?

Tentu saja.

Tapi, apa yang bisa Ayran lakukan? Hubungannya dengan Ahva bahkan hanya sebatas teman sekelas.

"Ayran, ada adik lo, tuh!"

Ayran yang saat ini sedang merebahkan kepalanya di atas meja mendongak menatap Zea yang duduk beberapa bangku darinya. Ia tidak menjawab ucapan temannya itu dan menatap ke arah pintu kelas. Benar apa yang dikatakan Zea, di depan pintu sana ada Raxel yang kini nyengir ke arahnya.

Ayran menghela napasnya, merasa sebentar lagi adiknya pasti akan membuatnya kesal. Karena sedang malas melakukan apapun Ayran akhirnya melambaikan tangannya, memberikan isyarat agar Raxel masuk ke dalam kelas. Ini sedang jam istirahat dan suasana kelas tidak begitu ramai karena sebagian besar penghuninya keluar, jadi Ayran rasa tidak ada salahnya menyuruh Raxel masuk.

Adiknya itu tidak lama kemudian berjalan masuk ke dalam kelas dan menghampiri dirinya. Teman-teman yang lain tidak begitu mempedulikan keberadaan Raxel, karena anak itu sudah sering terlihat di depan kelas. Raxel kemudian duduk dan mencolek dagunya dengan pelan.

"Apa, sih?!" protes Ayran merasa terganggu dengan sentuhan adiknya.

"Gue minta duit, dong."

Tuh, kan! Raxel bahkan hanya butuh waktu beberapa detik untuk membuatnya kesal. Sungguh luar biasa adiknya ini. Ayran segera menegakkan tubuhnya dan memandang sinis adiknya itu. Jika saja sekarang mereka tidak ada di kelas kemungkinan besar Ayran akan menjambak rambut Raxel beberapa detik setelah selesai bicara.

"Males!"

"Kak ... gue butuh duit sekarang." Raxel merengek lirih. Rupanya anak itu cukup waras untuk tidak menarik banyak perhatian teman sekelasnya yang lain.

"Buat apa, sih?!" Ayran tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Buat bayar kas. Gue nunggak soalnya."

Raxel membuat wajah memelas sembari matanya mengeluarkan puppy eyes untuk meluluhkan Ayran. Boro-boro mau luluh melihat tatapan itu, yang ada Ayran justru ingin menggigit tangan adiknya itu hingga meninggalkan bekas ala vampir

"Males! Pake duit lo sendiri sana," ujar Ayran dengan menyentakkan dagu.

"Masih kurang, Kak. Tunggakan gue banyak."

Menyerah, akhirnya Ayran meraih tasnya dan membuka salah satu risletingnya. "Hadeh ... lo ini masih SMA aja tunggakannya udah banyak. Lain kali lo kudu bayar kas tepat waktu. Awas kalau nggak. Gue bakal tanya langsung ke bendahara kelas lo."

Raxel berdecak, agak kesal dengan sikap kakaknya yang memperlakukan dirinya layaknya anak kecil. "Iye ... mana duitnya."

Tangan Raxel menengadah dan tidak berapa lama kemudian uang yang tadinya berada di dalam tas Ayran berpindah ke situ. Adiknya itu tersenyum melihat uang itu dan semakin tersenyum lagi ketika ada tambahan uang yang jatuh ke tangannya.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang