Awalnya Ahva berniat langsung menghampiri Ayran begitu selesai mengobrol dengan Hamlan. Namun, ternyata gadis itu sedang tidak ada di kelas maupun di kantin. Tadi Ahva sempat mencari ke kelas Ardo, karena siapa tahu gadis itu sedang mencari tahu sesuatu yang bisa digunakan sebagai titik terang penemuan di kelas adik mereka. Jadilah ia harus menunggu jam pulang sekolah untuk bicara dengan Ayran.Begitu guru mereka keluar dari kelas Ahva dengan cepat berdiri lalu berjalan beberapa langkah untuk menghadang langkah Ayran. Sepertinya gadis itu sedang terburu-buru karena saat langkahnya terhalang wajahnya agak kesal, tapi ekspresi itu tidak bertahan lama saat matanya bertemu pandang dengan wajahnya.
"Ahva, ada apa, ya?" tanya Ayran dengan kegugupan yang bisa Ahva tangkap juga rona samar di wajahnya.
"Ng ... gue dengar Raxel belum pulang sejak semalam. Benar?"
Wajah Ayran berubah murung lalu kepalanya mengangguk lemah, tampak begitu berat dan khawatir. "Iya, gue mau cepat-cepat pulang. Siapa tahu aja ada berita dari orang tua gue."
"Adik gue, Ardo dia juga belum pulang ke panti sejak semalam. Gue mau tanya apa kemarin Raxel bilang kalau dia pergi sama Ardo."
Terlihat jelas ada sedikit kekagetan yang muncul di wajah Ayran setelah mendengar ucapannya. Mulut Ayran tidak langsung menjawab karena dari wajahnya gadis itu tampak sedang berpikir.
"Gue nggak tahu jelas, tapi pulang sekolah kemarin Raxel pergi ke rumah Vindra."
"Vindra?"
Ayran mengangguk sekali sembari kemudian duduk di bangkunya kembali. Tidak lama Ahva melakukan hal yang sama, duduk di bangkunya kembali, membuat mereka duduk berhadapan dengan sekat jarak antara lutut mereka yang tidak sampai lima belas senti.
"Iya, kemarin waktu istirahat sekolah Raxel bilang ke gue kalau dia mau ke rumah Vindra setelah pulang sekolah."
"Gitu, ya? Kalau gitu gue coba tanya Vindra soal Ardo."
Ayran menjawab dengan sebuah anggukan.
"Makasih, ya. Walaupun ini belum pasti, tapi setidaknya gue sedikit punya harapan," ucap Ahva dengan sebuah senyum yang melegakan.
Ayran tidak merespon banyak ucapannya. Manik Ahva hanya melihat gadis itu tersenyum malu dengan wajah yang merona, pemandangan yang sungguh membuat gemas dirinya. Mungkin jika tidak dalam atau membahas hal yang genting seperti ini kemungkinan besar ia akan mencubit hidung gadis itu dengan jari telunjuk dan tengahnya.
Tunggu!
Kenapa Ahva bersikap seperti ini?!
***
Untuk pertama kalinya Ayran melihat kegundahan di wajah Ahva, dan dia sangat-sangat mengerti apa yang dirasakan laki-laki itu sekarang. Walau Ahva dan Ardo bukanlah saudara sedarah seperti dirinya dan Raxel, tapi saudara tetaplah saudara yang dengan kehadiran dan kepergiannya saja membuat bahagia dan sedih. Ayran tidak bisa membantu banyak laki-laki itu, tapi setidaknya gadis itu bisa menduga jika Ardo dan Raxel bersama-sama. Semoga saja begitu, setidaknya itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang karena adiknya tidak benar-benar sendiri.
"Kalau gitu gue mau pulang dulu."
Ahva tersenyum lagi menanggapi ucapannya. Untuk sesaat Ayran merasa ingin pingsan melihat senyuman itu. Ini memang bukan pertama kalinya, tapi efeknya itu loh kenapa tetap sama seperti pertama kali. Apa ini membuktikan kalah Ayran sudah resmi menjadi bucin berani matinya Ahva? Ayran rasa sih ... iya.
"Iya, gue juga mau nyari anak yang namanya Vindra. Siapa tahu aja dia masih ada di sekolah. Bye."
Ahva melambaikan tangan pada Ayran kemudian berjalan keluar kelas. Untuk sesaat dia merasa seperti baru saja mengantar kepergian suami yang akan berangkat bekerja. Tanpa disadari tangan Ayran membalas lambaian Ahva bahkan hingga sosok itu menghilang kemudian tanpa sebab wajahnya merona sambil cengengesan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELABU
Teen FictionCOMPLETED [Fantasy-Teen Fiction-Romance] Apa yang lebih sulit dari merasa bersalah akan suatu hal? Menjadi pelaku utama kesalahan itu? Ayran rasa tidak. Yang lebih berat adalah terjebak di antara benar dan salah, hitam dan putih. Semuanya terasa bu...