Episode 24

124 20 7
                                    


Ahva terlahir sebagai anak seorang dokter. Sejak kecil ia selalu percaya jika jika ingin sembuh dari penyakit, maka terlebih dulu harus pergi ke rumah sakit untuk mengetahui apa penyakitnya. Setelahnya dokter akan memberikan obat atau tindakan yang lain. Tapi ... melihat bagaimana ramuan yang Urdha berikan benar-benar bekerja, membuat ia yang selama ini tidak percaya dengan berbagai pengobatan alternatif jadi ... entahlah Ahva tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Yang terpenting sekarang ia percaya obat itu bisa datang dari mana saja, apa lagi ini dimensi sihir. Dimensi yang sepertinya ada begitu banyak hal tak lazim di dalamnya.

"Sepertinya ramuan Urdha bekerja dengan baik di tubuhmu." Rilla berkomentar dengan tangan yang menyodorkan sebuah mangkuk ke arah Ahva.

Dengan gerakan ringan Ahva menerimanya lalu memeriksa apa yang ada di dalamnya. Isinya masih sama seperti kemarin. Sup kentang dengan kuah jahe yang kuat. Ahva memang tidak membenci rasa jahe, tapi bayangkan bagaimana rasanya sejak kemarin disuguhi oleh makanan yang kebanyakan dicampuri oleh jahe dan cabai.

"Iya. Dia tabib yang hebat."

Ahva tidak bercanda soal pujiannya. Begitu bangun di pagi buta, ia sama sekali tidak merasakan lagi sakit yang menderanya sepanjang malam. Awalnya Ahva kira itu hanya sementara, namun saat ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menggerakkan punggungnya beberapa kali, laki-laki itu langsung berdecak kagum dan mengakui kehebatan ramuan Urdha. Punggungnya yang retak dan patah sembuh hanya dalam semalam. Sungguh luar biasa.

"Tentu saja. Aku adalah temannya sejak dulu dan punggungmu yang retak kemarin bukanlah apa-apa baginya. Dia pernah menangani pasien yang lebih parah darimu." Bein menyahut dengan bangga. Kurcaci itu kemudian duduk di hadapannya dan menatap dirinya dan Ayran bergantian.

"Setelah makan kalian pergilah ke halaman belakang, sepertinya ada yang ingin disampaikan Ayran padamu," lanjut Bein kemudian lanjut memakan sup di hadapannya.

Penasaran Ahva lalu menoleh ke samping, menatap Ayran yang kini melihatnya melalui lirikan mata dengan tangan yang bergerak mendekatkan sendok ke dalam mulut. Ahva mengangkat alisnya, bermaksud untuk bertanya. Bukannya mendapat sebuah jawaban, Ayran justru menggeleng sekali dan langsung melengos. Gadis itu kemudian mengaduk-aduk supnya, berlagak sibuk padahal sudah tidak ada lagi kentang yang bisa ia makan.

Baiklah, Ahva rasa menunggu setelah sarapan tidak lama. Sebenarnya ia juga memiliki hal yang ingin dibicarakan pada gadis itu soal bagaimana caranya mereka bisa keluar dari dimensi ini. Karenanya Ahva kemudian mengaduk supnya sesaat dan menyendok beberapa kentang yang ada di dalamnya.

"Aku sudah selesai. Terimakasih untuk makanannya Rilla, aku banyak berhutang padamu," ujar Ayran beberapa menit kemudian.

Rilla yang sedang meminum sesuatu dari cangkirnya mendongak sesaat lalu tersenyum. Mata kurcaci itu kemudian memicing, seperti memberikan sebuah kode pada Ayran dan meliriknya sekilas. Seperti mengerti apa yang Rilla sampaikan lewat matanya, Ayran tidak berapa lama mengangguk dan bangkit dari duduknya.

"Gue tunggu di halaman belakang." Ayran berujar dengan cepat lalu berbalik meninggalkan ruang makan yang menyatu dengan dapur.

Awalnya Ahva dibuat kebingungan dengan sikap gadis itu. Dan jangan salahkan dirinya jika sekarang ada banyak asumsi yang menghampiri kepalanya. Sebagian besar asumsi itu adalah suatu hal yang menyenangkan sekaligus menegangkan, tapi sebagian asumsi di kepalanya mengatakan apa yang akan dikatakan Ayran adalah suatu hal yang buruk.

"Kau harus menyusulnya." Bein tiba-tiba berucap, menyadarkan Ahva yang sedari tadi sibuk memandangi kepergian Ayran.

"Ah, iya. Aku akan menyusulnya sekarang."

Ahva bangkit dari kursinya, meninggalkan Bein dan juga Rilla yang menatap punggungnya hingga kemudian menghilang. Saat sampai di halaman belakang yang hampir sama dengan halaman depan, yakni penuh dengan bunga-bunga, Ayran sudah ada di sana sedang menatap kosong ke arah kakinya sendiri. Ahva belum genap melangkahkan kakinya keluar rumah saat Ayran mendadak menoleh dengan wajah manisnya. Sesaat kemudian gadis itu menampilkan sebuah ulasan senyum yang memaksanya untuk ikut tersenyum.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang