Episode 9

156 22 15
                                    

Ayran tidak mengerti sama sekali, ia sangat yakin telah meletakkan buku itu di dalam tas, tapi kenapa sekarang tidak ada? Saat Raxel akhirnya berhasil mengajaknya pulang pun Ayran berusaha berpikiran positif. Bisa saja 'kan buku itu lupa dimasukkan ke dalam tas tadi pagi dan masih di bawah bantal?

Pikiran itu terus terpatri di otaknya hingga Ayran sama sekali tidak mendapati buku itu di bawah bantalnya. Ayran bahkan sudah mencopot seprai dan memeriksa di bawah kasur, namun hasilnya tetap tidak ada. Kegelisahan jelas semakin menghiasi hatinya tapi yang bisa dilakukan hanya menangis di dalam kamar.

Tadi, bunda sempat bertanya padanya ada apa, tapi tidak mungkin bukan Ayran bilang buku yang merupakan bukti jika ia bucin sejati miliknya menghilang? Bunda saja tidak tahu eksistensi buku itu ada di dunia ini, dan Ayran harap seterusnya beliau tidak akan tahu. Bisa-bisa nanti ia diejek habis-habisan. Biarlah bunda nanti tinggal menerima hasil berupa ia dan Ahva yang bersanding di pelaminan.

"Kak Ay gue bawain lo makan malam."

Pintu kamarnya tiba-tiba dikuak dan tidak berapa lama kemudian memunculkan sosok Raxel yang membawa nampan ke arahnya. Ayran tidak memedulikan itu dan justru menatap kosong ke depan sembari otaknya berusaha mengingat, sayangnya itu tidak berhasil. Langkah Raxel semakin dekat ke arah ranjangnya kemudian meletakkan piring yang dibawa ke pangkuannya begitu saja. Ayran masih diam, memandang kosong makanan itu tanpa berniat menyentuhnya sama sekali. Kalau dipikir-pikir kelakuannya saat ini benar-benar persis seperti orang yang putus cinta.

"Kak, makan."

Mata Ayran menengok sekilas ke arah Raxel lalu kembali menatap ke arah piringnya. Beberapa saat kemudian tangannya mulai bergerak meraih sendok dan mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya sendiri.

"Sebenarnya apa sih yang lo cari? Sampai-sampai lo kayak orang stres gini?"

Ayran lagi-lagi tidak menjawab, malah menjulurkan bibir bawahnya dan melengkungkannya ke bawah. Tubuh Raxel sempat mundur sejenak melihat pemandangan yang berpotensi mematikan tikus di seluruh rumah.

"Apa sih lo kayak gitu. Nggak ada imut-imutnya, yang ada amit-amit."

"Lo ini gimana, sih! Gue ini lagi sedih!" Untuk pertama kalinya sejak tadi, akhirnya Ayran mau mengeluarkan suara.

"Iya ... iya ... lo imut. Puas!" Raxel mendelik.

Berbeda dengan Raxel, Ayran justru meringis mendengar kata imut. Walau bukan Ahva yang mengatakannya dan hanya adiknya yang mengatakan itu, ia tetap bahagia. Siapa tahu 'kan di masa depan Ahva benar-benar mengatakan hal itu.

"Barang apa yang hilang, Kak? Kasih tahu gue coba, siapa tahu gue bisa bantu."

Ayran tidak langsung menjawab, membiarkan makanan di mulutnya melembut kemudian menelannya. Raxel sendiri juga tampak sabar menunggu jawabannya.

"Itu barang rahasia. Lo nggak boleh tahu."

Raxel kontan berdecak, tidak habis pikir dengan kakaknya yang masih kekanakan. Kalau begini seharusnya yang lahir lebih dulu itu dia, tapi kalau dipikir-pikir lagi ... Raxel tidak jadi ingin lahir duluan. Bisa-bisa nanti dia malah dipalakin terus sama Ayran.

"Terus gimana cara gue bantu lo nyari itu benda rahasia kalau nggak mau kasih tahu."

Tatapan Ayran kini kembali sinis seperti biasa. Melihatnya membuat Raxel merasa sedikit lebih lega. Tatapan seperti itu lebih cocok di wajah kakaknya dari pada harus melihatnya cemberut dan menangis.

"Gue nggak bakal kasih tahu lo. Sana pergi!"

Raxel memajukan bibirnya bermaksud mengejek Ayran dan justru dihadiahi timpukan bantal oleh kakaknya. Tidak mau kalah ia balas mengambil bantal itu di kakinya dan mengarahkannya ke kepala Ayran. Lemparannya rupanya tepat sasaran dan sempat membuat kepala Ayran sedikit tersentak sebelum kemudian bantal itu jatuh di sampingnya.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang