Episode 34

119 16 6
                                    


Berpisah dengan keluarga adalah suatu hal yang berat dan mengetahui mereka akan segera pulang tentu menimbulkan euforia tersendiri bagi keempatnya. Walau begitu meninggalkan seorang teman adalah suatu yang tidak kalah berat. Baik Ahva maupun Ayran mungkin hanya mengenal Urdha, Bein dan Rilla sebentar. Akan tetapi sampai kapanpun sudah bisa dipastikan jika mereka tidak akan bisa melupakan kebaikan dan jasa ketiganya. Apa yang mereka lakukan sungguh sudah lebih dari apa yang bisa seorang teman lakukan.

Perlahan ketiganya melangkah ke arah cahaya putih menyilaukan itu. Langkah mereka terasa begitu ringan tapi disaat bersamaan terasa begitu berat, karena harus meninggalkan seorang teman yang kemungkinan besar jika bukan karenanya mereka akan kehilangan nyawa di dimensi yang asing itu.

Cahaya menyilaukan itu perlahan menghilang bersamaan dengan langkah mereka yang semakin jauh. Berawal dari silaunya yang perlahan musnah hingga kemudian mereka rasakan keredupan yang membuat mata mereka terbuka. Untuk sesaat empat pasang mata itu dibuat terbuka lebar kala melihat pemandangan sekeliling yang begitu mereka kenal.

"Ini hutan Elara. Iya, kan?" Ayran berjalan ke depan beberapa langkah. Menatap ke atas pada langit cerah biru yang dihiasi oleh awan putih. Tubuhnya kemudian berbalik dan menatap tiga laki-laki di hadapannya dengan wajah sumringah dan mata berkaca-kaca.

"Iya. Kita udah pulang." Ahva menjawab dengan wajah serupa. Langkahnya kemudian maju beberapa hingga tubuhnya berhadapan dengan Ayran.

"Kita berhasil bawa adik kita pulang dengan selamat."

Lengkungan di wajah Ayran semakin lebar. Matanya yang indah ikut tersenyum hingga membuat wajahnya jadi secerah cuaca yang sedang melingkupi mereka. Sayangnya wajah cerah yang jadi favorit Ahva-entah sejak kapan-mendadak berubah menjadi bingung. Sorot mata yang tadinya fokus ke arahnya kini beralih tepat di belakang punggungnya.

"Ardo! Ardo! Lo nggak apa-apa, kan?!"

Dari belakang punggungnya Ahva bisa mendengar suara panik Raxel. Tubuhnya yang semula santai menegang seketika dan dengan cepat berbalik. Melangkah ke arah Raxel yang sibuk mengguncangkan kepala Ardo dengan menggerak-gerakkan bahunya dengan kepala yang memiringkan wajahnya untuk melihat keadaan temannya.

"Ardo! Bangun!"

"Lo turunin dia." Ahva memerintah yang langsung ditanggapi Raxel dengan mendudukkan dirinya di atas tanah berumput.

Tanpa diduga tubuh Ardo langsung ambruk ke atas rumput tanpa Ahva sempat menjadi tempat berpijaknya, untungnya tanah di sini tidak memiliki banyak bebatuan ataupun kerikil kecil yang mampu membuat menciptakan cukup rasa sakit jika jatuh. Raxel yang berada paling dekat dengan laki-laki itu langsung berbalik dan mengangkat kepala Ardo dari atas tanah. Ahva dan Ayran yang tidak kalah panik ikut mendekat dan seketika dikejutkan kala menyadari bekas cekikan Nilam yang semakin menghitam dan melebar hingga menjalar ke area dada.

Ahva panik dan langsung mengambil alih tempat Raxel agar adiknya bisa bertumpu padanya. Ayran satu-satunya seseorang yang masih bisa berpikir waras tidak ikut berjongkok untuk melihat keadaan Ardo lebih jauh.

"Aku akan cari bantuan di sana." Dengan wajah setengah panik Ayran menunjuk ke sebuah warung yang ia tahu ada di salah satu sudut taman ini.

***

Petugas ambulan datang beberapa lama setelah Ayran meminta bantuan pada salah satu pemilik warung untuk menelpon ambulan. Ketiganya ikut menyertai Ardo ke rumah sakit hingga akhirnya mereka menunggu dokter yang sedang memeriksa Ardo di UGD.

Ahva masih tampak sangat kacau dengan pakaian anehnya dari dimensi sihir. Hal yang serupa juga terjadi pada Ayran, hanya saja pakaian yang dikenakannya masih terlihat normal dan lazim ditemui. Keadaan Raxel juga jauh lebih buruk dari yang dikira. Meskipun pakaiannya masih sama dengan yang dipakainya ketika menghilang, tapi keadaan tampilannya sangat buruk. Apa lagi dengan wajah Raxel yang sembab karena menangis sejak masuk mobil ambulan.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang