Seumur hidupnya Ayran hanya pernah mengatakan aku sayang kamu pada Raxel hanya tiga kali. Pertama saat ia ikut mengantar Raxel ke sekolah di hari pertamanya sebagai anak TK. Walau masih kecil, tapi Ayran ingat betul jika waktu itu ia mengucapkan kalimat itu ditambah bonus sebuah kecupan di pipi.
"Nanti waktu di kelas jangan nangis, ya? Kalau kamu nangis Kakak nggak mau main sama kamu lagi." Ayran berpesan demikian sebelum Raxel memasuki gerbang taman kanak-kanak yang dipenuhi dengan mural binatang dengan berbagai warna.
Waktu itu Raxel hanya mengangguk patuh padanya lalu berjalan masuk dengan langkah takut-takut ke kelasnya dengan digiring oleh seorang guru berwajah ramah. Tapi meskipun sudah diperingatkan nyatanya Raxel menangis saat sampai di rumah. Mengadu pada dirinya bagaimana ada anak sekelasnya yang merebut mainan kelinci yang ia peluk begitu saja.
Jika mengingat hal itu Ayran selalu tersenyum geli dibuatnya.
Yang kedua beberapa tahun lalu saat Raxel diharuskan opname di rumah sakit karena deman berdarah. Ayran tahu jika penyakit itu termasuk penyakit yang serius dan ia takut kehilangan Raxel. Waktu itu bunda menyuruhnya untuk menginap di kamar adiknya karena beliau tidak bisa melakukannya untuk mengurus suatu hal lain. Mata Ayran memandang lama adiknya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan sorot mata ketakutan. Takut jika ia akan kehilangan adiknya.
"Gue sayang lo. Cepet sembuh, ya."
Dan ketiga kalinya terjadi baru saja. Saat ia memandang langit biru di pagi hari di samping Urdha yang sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya.
"Aku sangat menyayangi adikku. Aku harap dapat bertemu dengannya lagi dan memeluknya."
Urdha menghentikan aktivitasnya menyiram tanaman dan menoleh sepenuhnya ke arah Ayran. Kurcaci itu tersenyum. Senyum yang bisa berarti beribu makna. Senyum mengerti, kasihan, khawatir dan entah apa lagi.
"Kita hanya bisa berharap adikmu dan adik Ahva bisa bertahan hingga kalian sampai di sana. Aku akan mengantar kalian ke pesisir danau menjelang siang nanti."
"Terima kasih untuk semua bantuanmu, Urdha."
Kepala Urdha mengangguk beberapa kali masih dengan sebuah senyuman. Beberapa saat kemudian kurcaci itu kembali pada aktivitasnya semula. Menyirami tanaman miliknya yang sebagian besar bunganya masih berupa kuncup. Perkiraan Ayran bunga itu akan mekar besok atau lusa. Pasti akan sangat menyenangkan jika ia punya kesempatan untuk melihatan bunga-bunga itu bermekaran. Sayangnya itu tidak bisa terjadi padanya karena ia harus menjemput adiknya dari Nilam yang ...
... kutukannya bisa saja dimusnahkan?
"Benar juga!" Ayran berseru girang hingga tubuhnya yang terduduk di sebuah batang pohon mati yang sengaja diletakkan di sana bangkit begitu saja. Mata gadis itu memandang ke depan dengan begitu semangat dengan tangan kanan yang terkepal.
"Kau ... baik-baik saja?" Urdha bertanya dengan hati-hati. Kaki pria itu membawa tubuhnya mundur beberapa langkah. Tampak waspada dengan kelakuan manusia di hadapannya. Ini adalah kali pertamanya dirinya punya kenalan seorang manusia. Urdha tidak tahu persis bagaimana mereka bersikap, jadi tidak ada salahnya jika ia berhati-hati.
"Urdha, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Ayran masih dengan keantusiasan yang sama tanpa memedulikan apa yang Urdha tanyakan sebelumnya.
"Apa?"
"Bagaimana cara melenyapkan kutukan yang terjadi pada Nilam?"
***
Sebenarnya Ayran bukan orang yang terlalu suka berjalan, tapi beberapa hari ini ia justru melakukan kegiatan itu dengan rutin. Mulai berjalan melintasi hutan, pergi ke runah Urdha, dan juga saat ini. Ia, Ahva dan kurcaci gondrong itu berjalan menuju pesisir danau. Jaraknya tidak begitu jauh sebenarnya, hanya lima belas menit berjalan kaki, karena kurcaci di desa ini menggantungkan hidup mereka dari danau selain menjadi tabib.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELABU
Teen FictionCOMPLETED [Fantasy-Teen Fiction-Romance] Apa yang lebih sulit dari merasa bersalah akan suatu hal? Menjadi pelaku utama kesalahan itu? Ayran rasa tidak. Yang lebih berat adalah terjebak di antara benar dan salah, hitam dan putih. Semuanya terasa bu...