Episode 23

138 19 6
                                    


"Makanlah dengan baik. Jangan melamun seperti itu."

Ayran yang sedang menggerakkan sendok ke dalam mulutnya dengan malas-malasan menatap ke arah Rilla. Tidak lama kemudian senyum lemah yang canggung terukir. Ia lalu merubah duduknya lebih tegak dan mengubah posisinya dengan benar sesuai teguran Rilla.

Ayran tersenyum canggung. "Maaf, aku cuma masih syok dengan ucapan kalian."

Bein dan Rilla kompak memberikan senyum masam dan kembali memakan makanan mereka. Mereka bertiga sedang makan malam di ruang makan yang tentu saja berukuran lebih mini, tapi masih cukup untuk Ayran yang berukuran normal. Tadi Ahva sudah makan lebih dulu dan sekarang laki-laki itu terus menerus mengerang kesakitan sejak matahari tenggelam. Sepertinya ramuan yang diberikan Urdha mulai bekerja.

"Kalian tidak punya anak?" tanya Ayran sekedar basa-basi. Kebiasaan keluarganya yang sering mengobrol ternyata terbawa kemanapun ia pergi. Sesaat Ayran kembali murung saat memikirkan rumah dan orang tuanya, ia sangat yakin kini ayah dan bunda sangat khawatir dengan dirinya.

"Kami mempunyai anak laki-laki. Dia tinggal beberapa rumah dari sini." Bein menjawab yang kemudian disetujui dengan anggukan kepala Rilla.

"Kenapa dia tidak tinggal di rumah ini? Apa dia sudah menikah?"

"Belum. Cuma anak kami sedikit luar biasa. Ia sangat mencintai seni mengukir dan butuh tempat yang luas untuk itu. Dia membeli rumah beberapa bulan yang lalu dan tinggal di sana dengan semua hasil karyanya."

Ayran tersenyum pahit mendengar jawaban Rilla. Anak kedua kurcaci itu mempunyai kemiripan dengan Raxel. "Adikku ... juga menyukai seni. Bedanya dia suka menggambar, bukan mengukir."

Kepala Ayran tertunduk lesu saat lontaran kalimat yang membahas Raxel keluar dari mulutnya. Seperti mengerti apa yang sedang dirasakannya, Rilla kemudian menyodorkan gelas yang tadinya ada di samping sikunya ke depan Ayran. Agaknya wanita mungil itu sangat mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang terdekat.

"Ini, minumlah. Kau akan merasa lebih baik setelah ini melewati kerongkonganmu."

Ayran menuruti ucapan Rilla dengan tangan yang kemudian meraih gagang gelas itu. Tadi ia melihat gelas itu sama sekali belum Rilla sentuh, jadi kemungkinan kurcaci itu belum meminumnya sama sekali. Ayran lalu meminumnya dan langsung dibuat tersedak saat air itu menyentuh permukaan lidahnya. Demi apapun rasanya sungguh pedas.

"Ini, ini, cepat minum air ini." Buru-buru Rilla kembali menyodorkan gelas yang kali ini berisi air putih setelah lebih dulu menuangkannya dari teko.

Dengan mulut yang masih merasa kepedasan Ayran menyambar gelas itu lalu meminum isinya hingga tandas. Sesaat kemudian ia kembali mengambil teko berisi air yang sama dan menuangkannya lalu kembali meneguknya. Parahnya setelah ia meminum dua gelas air putih rasa pedas yang menguar di dalam mulutnya tidak juga hilang.

"Bisa aku tahu apa yang baru saja aku minum?" tanya Ayran setelah dirinya lebih tenang.

"Itu adalah minuman favorit para kurcaci, terbuat dari perasaan air jahe dan bubuk cabai. Bagaimana rasanya? Enak, kan?"

Entah kenapa rasanya Ayran ingin mengumpat seketika. Namun, tentu saja ia tidak bisa melakukan itu. Ia adalah perempuan berbudi luhur dan berjiwa bangsawan.

"Aku sebenarnya suka dengan makanan pedas, tapi ... aku tidak begitu suka dengan minuman pedas. Maaf."

Rilla mengibaskan tangannya seakan apa yang dikatakan Ayran bukanlah sebuah masalah. "Tidak apa. Aku tidak tahu bagaimana selera lidah manusia, jadi mungkin minuman ini bukan seleramu."

Ayran tersenyum canggung. Tidak menyangka Rilla akan bicara seperti itu, tapi ia bersyukur wanita mini itu tidak merasa tersinggung karena ungkapan jujurnya. Mereka bertiga kemudian melanjutkan makan hingga hampir semua sup yang dimasak Rilla semuanya tandas. Tadinya Bein menyuruhnya untuk pergi ke ruang tamu untuk menemani Ahva, tapi sebuah pikiran menahannya untuk bangkit dari kursinya.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang