Episode 16

144 19 7
                                    


Ayran tidak mengerti apa yang terjadi padanya, yang jelas sejak pulang sekolah tadi perasaannya jadi tidak enak. Ini bukan lagi soal perkara ia yang menolak diajak masuk ke rumah nenek Ahva, tapi ini soal Raxel. Adiknya itu belum pulang bahkan hingga malam menjelang. Tadinya sih ayah dan bunda masih tidak khawatir karena Raxel sendiri yang sudah minta izin untuk main ke rumah temannya, namun itu semua berubah saat jam malam berakhir dan anak itu tidak kunjung pulang.

"Ayran, kamu udah hubungi Vindra?" suara bunda menyadarkan Ayran yang sempat memandang kosong ke arah ponselnya.

Ayran menggeleng lemah. "Udah. Katanya tadi Raxel udah pulang dari rumahnya pas mau maghrib."

Bunda mendesah lelah sembari kakinya terus melangkah mendekat ke arah ranjangnya. Wanita berwajah kusut itu kemudian duduk di tepian ranjang milik Ayran. Matanya memandang putrinya dengan sorot mata takut dan khawatir.

"Nggak ada kabar apa-apa dari ayah?"

Bunda menjawab dengan sebuah gelengan pasrah. Beberapa saat kemudian kedua tangannya mengusap wajahnya dengan kasar seakan menunjukkan kegusarannya. Sejak sejam lalu ayah memutuskan keluar rumah untuk mencari Raxel. Entah ayah pergi mencari kemana, yang penting semoga saja beliau membawa Raxel kembali pulang.

Karena Ayran sungguh sangat khawatir.

Ayran yang tadinya duduk di kursi meja belajarnya bangkit, beralih duduk di sebelah bunda dan memeluk dari samping. Bunda balik memeluknya kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu putrinya dengan sangat pasrah. Hembusan dan tarikan napas panjang bunda adalah satu-satunya yang membuat sepi terusir hingga kemudian isak bunda terdengar.

"Bunda ... Raxel pasti pulang, kok. Mungkin dia lagi main ke rumah temannya yang lain," ujar Ayran dengan lembut untuk menenangkan. Tangannya dengan gerakan ringan mengelus punggung bunda dengan pelan, berharap dengan itu wanita yang disayanginya itu jadi lebih tenang.

Pelukan bunda tiba-tiba terlepas. Wanita itu menatapnya dengan matanya yang sembab dan kedua tangan memegang kedua bahunya dengan erat. Matanya lalu terpejam erat dengan sebuah tarikan napas yang amat panjang lalu menghembuskannya.

"Kamu udah telpon temannya Raxel yang lain?"

Ayran menggeleng dengan raut kecewa. Untuk mendapatkan nomor Vindra saja tadi susahnya minta ampun. Untungnya dia tadi menelpon Elma yang sangat tidak diduga memiliki nomor teman dekat Raxel.

"Ya udah. Nggak apa-apa. Kamu sekarang tidur aja, besok sekolah, kan?"

Bunda tersenyum pahit, seperti tahu jika tidak mudah mendapatkan nomor seseorang dalam waktu singkat. Lagi pula ini sudah pukul sepuluh lewat, kemungkinan Raxel mungkin juga sedang dalam perjalanan pulang, semoga saja. Bunda kemudian bangkit dari duduknya dan meninggalkannya di kamar sendirian dengan langkah yang begitu lemas.

Mata Ayran memandang pintu kamarnya yang baru saja ditutup. Pikirannya berlarian kemana-mana, memperkirakan kemana sekiranya Raxel pergi hingga sampai lupa waktu seperti ini. Lama gadis itu berpikir dan hasilnya tetap nihil. Ini jelas bukan kebiasaan Raxel. Walau anak itu tergolong anak yang tidak bisa diam dan jahil, tapi anak itu tidak pernah melanggar peraturan dari ayah.

Apa jangan-jangan Raxel diculik?

Ayran menyentakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan cepat. Berusaha sebisa mungkin mengusir segala pikiran buruk yang menerjangnya saat ini. Sepertinya saat ini ia benar-benar butuh istirahat agar pikirannya tidak semakin kacau. Untuk saat ini yang bisa Ayran lakukan hanyalah berdoa semoga Raxel baik-bak saja di manapun dia berada.

***

Walaupun Ayran sudah berusaha keras untuk tidur dengan nyenyak, tapi nyatanya dia tidak bisa melakukannya. Rasa khawatir membuat kantuk tidak kunjung mendatanginya. Akibatnya, Ayran baru bisa tidur saat menjelang pagi. Rasanya benar-benar sungguh menyiksa. Apa lagi saat sarapan ayah dan bunda kompak menunjukkan wajah yang tidak jauh beda dengannya.

KELABUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang