12; Swing

190 27 2
                                    

Jimin terhenti disamping ayunan tua pinggir sungai, ia menatap sendu besi berkarat di hadapannya. Angin meniupnya hingga decitan engsel yang sudah berkarat terdengar.

Di usianya yang ke-13, ia harap sebuah keajaiban muncul dari benda-benda sekitarnya. Ia harap, sebuah benda dapat mengantarkannya pada suatu hal yang dapat membantunya melewati hidupnya yang rumit. Namun, saat melihat ayunan tua berkarat ini, tak ada yang bisa ia harapkan selain menunggu rantainya putus.

Jimin menghela nafas berat. Tubuhnya menitik beratkan ada ayunan itu, duduk terdiam memandang sungai yang mengalirkan air dengan deras. Ada sedikit rasa iri saat melihat anak seusianya bermain tanpa ada rasa khawatir jauh disisi sungai lain, akankah dirinya juga bisa seperti itu?

Ibunya dan Ayah angkatnya kembali memulai pertikaian. Ia juga memiliki kakak angkat yang bahkan sama tak acuhnya dengan ayahnya. Jimin memutuskan untuk keluar hingga ia ingin kembali lagi ke rumah.

Tidak, ia bahkan tak ingin berada di rumah. Sebab ia telah mengetahui bahwa ibunya baru saja menikah dengan kriminal besar.

Jimin bahkan tak tahu lagi apa yang akan dilakukannya sekarang, lelaki kejam itu mengancamnya dengan nyawa Ibunya. Tentu dia akan tutup mulut sampai waktu yang tepat. Kakak angkatnya bahkan tidak berguna sama sekali, sebab yang ia lakukan hanya mengiyakan perkataan ayahnya.

Jimin mendengar suara decitan di sampingnya, seseorang telah mengisi ayunan di sebelahnya. Ia menoleh hanya untuk mendapati seorang gadis kecil-yang bahkan tak ia kenali-tersenyum padanya. Pipi gadis itu bersemu merah serta mata hazelnya yang indah membuatnya tampak bersinar.

"Oppa, kenapa kau sendiri disini?"

Jimin terkejut saat gadis itu memanggilnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa gadis itu benat berbicara padanya. Nihil, tak ada seorang pun disekitarnya, sudah dipastikan gadis ini berbicara padanya.

"Aku berbicara padamu oppa!"

Jimin menyipit tak suka, ia menyilangkan lengannya dengan kening mengerut. Ia hanya melihat gadis itu tertawa kecil saat mendengarnya berceletuk. "Anak kecil, aku bukan oppamu." Menyebalkan sekali, Jimin yakin gadis ini umurnya tak jauh darinya. Namun, sikapnya benar-benar bawel.

"Umurku 9 tahun, kau pasti lebih tua, 'kan?"

Jimin tak sempat menjawabnya, karena saat itu juga, rantai ayunan yang ia duduki putus seketika. Bokongnya menyentuh tanah dengan keras serta suara gaduh yang ia buat terdengar begitu menyakitkan. "Sakit sekali! Kenapa harus saat ku duduki sih?" Ia menepuk kedua tangannya yang kotor terkena tanah.

"Oppa genggam tanganku."

Jimin terhenti, ia menatap mata hazel gadis yang kini berdiri di hadapannya tengah mengulurkan lengan. Sedikit ragu tetapi Jimin tetap bertanya, "kenapa?"

"Oppaku bilang jika ada orang sedang terjatuh, kita harus mengulurkan tangan walau kita hanya membantu sedikit daripada tidak sama sekali."

Jimin tersenyum tipis sembari menyambut uluran tangan itu dan berdiri. Ia menepuk celananya membersihkan sisa-sisa tanah yang tertinggal. "Akan kuberi tahu, maksud oppamu dengan orang yang sedang terjatuh memiliki arti lain." Ia menjeda kalimatnya. "Bukan orang yang terjatuh mencium tanah dengan bokongnya. Jadi kau harus tahu, ada dua arti dengan kata terjatuh."

GWTN I; Bonds ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang