Jimin duduk pada ayunan. Besinya berdecit tatkala ia melempar bokongnya sedikit keras. Tak peduli jika ayunan yang lainnya terputus, toh akan terbayar dengan pemandangan yang ia dapat.
Jimin terbangun agak siang, di rumah sudah pasti suasananya sepi dan mencekam. Kakak angkatnya selalu berada di kamar, tetapi seperti tak menandakan adanya kehidupan. Sedangkan ayah angkatnya sudah pasti tak ada di rumah. Ibunya? Wanita itu meninggalkan catatan kecil di kulkas bahwa ia akan pergi sebentar.
Jimin hanya diam menatap arus sungai yang mengalir tenang. Sudah sekitar 20 menit menunggu, ia masih tetap asik duduk disana.
"Oppa!"
Jimin menoleh tatkala ia mendengar lengkingan suara dari belakangnya. Ia melihat gadis itu berlari kecil hingga berhenti di hadapannya, membelakangi sinar matahari hingga tampak seperti siluet. Senyum merekah lebar hingga membuat matanya menciptakan lengkungan sabit, bahkan pipinya sedikit bersemu.
"Tak percaya, oppa benar-benar datang."
Jimin tersenyun tipis. Ia bangkit dari duduknya dan menepi. Mengisyaratkan gadis itu untuk duduk yang langsung diangguki patuh oleh gadis itu. Sekarang ia bisa melihat jelas mata hazel yang berkilat di bawah sinar matahari, mata yang selalu menjadi favorit Jimin dan ia selalu ingin memiliki warna mata seperti itu. Tapi Ibu berkata, Jimin memiliki mata ayahnya, cokelat legam.
"Oppa langsung saja katakan padaku yang ingin kau katakan kemarin. Orang terjatuh bukan selalu terpeleset atau semacamnya?"
"Begini anak kecil, terjatuh yang dimaksud oppa mu itu saat ia terpuruk. Ketika seseorang merasa sedih atau gagal, maka kau bisa menyebutnya secara tidak langsung sebagai jatuh."
Gadis itu terlihat berpikir sejenak sebelum ia kembali bertanya. "Lantas bagaimana dengan membantunya? Apa yang harus kita lakukan jika tidak terjatuh raganya?"
Jimin mengusap dagunya sebelum mulai menjawab. Ia merangkai kata-kata yang mudah untuk dimengerti anak kecil. "Kau bisa menghiburnya. Menemaninya saat ia merasa sedih dan memberi semangat. Yah, kurang lebih seperti itu," ia menjeda kalimatnya. Matanya melirik pada gadis itu yang masih menatapnya berkilat-kilat. "Kalau kau bisa memberi jalan keluar itu lebih baik. Setidaknya jika tidak bisa memberi jalan keluar untuk masalahnya kau ada untuk menemaninya."
Anak itu membentuk mulutnya menjadi huruf O dan mengangguk. Setelah itu hening melapisi atmosfer sore yang sedikit berubah mendung. Keduanya hanya diam termenung menatap lurus ke depan. Ada rasa sedikit canggung ketika hening melanda dan nyaman saat angin sepoi menyapu wajah mereka.
"Oppa..."
Jimin menoleh. Matanya bertemu dengan mata hazel milik gadis kecil itu. Ia mengangkat alisnya sembari tersenyum tipis.
"Apa kau sedang sedih?"
Ketika itu, Jimin tak bisa membuka mulutnya. Hanya angin yang mengisi kekosongan diantara mereka. Ia benar bungkam. Apakah dirinya bisa disebut sedih? Tidak. Sebab dirinya tak merasa sedih karena kehadiran Ibunya. Apa bisa disebut bahagia? Tidak juga. Hidupnya selalu diwarnai kecaman dari saudara tirinya. Akhirnya hanya ada satu jawaban yang ia pilih, "Tidak."
Gadis itu terlihat tak yakin. Ia mengerutkan kening dalam sambil menelisik seluruh ekspresi Jimin. "Oppa pasti berpikir aku ini anak kecil yang tak menahu apa-apa, tapi aku bisa tahu kalau kau sedang sedih. Jadi mengaku saja."
Jimin tertegun. "Bagaimana kau tahu?"
Gadis itu hanya mengangkat bahunya sembari menatap langit tampak berpikir. "Oppa selalu kesini setiap siang bukan? Kau juga selalu sendiri. Setelah itu kau tidak melakukan apa-apa sampai matahari terbenam."

KAMU SEDANG MEMBACA
GWTN I; Bonds ✔
FanfictionBegini, Jimin tak pernah menganggap Yoongi selama hampir sepuluh tahun. Tak peduli dengan eksistensinya yang mulai hilang dari Gewetensvol hingga kasusnya dilebur. Hanya saja saat Yoongi mengancam kehadiran detektif dengan kode panggilan A3 010 J. R...