19; Sea

156 21 0
                                    

Di antara semua waktu, kenapa harus waktu yang tidak tepat. Seunji membawa ponselnya ke balkon dan Marc berbicara selepasnya tanpa tahu yang dibicarakan memasang telinganya dengan baik.

Saat ini Jimin masih menelisik gadis di samping balkonnya yang gugup. Ia tentu tahu tatapannya membuat gadis itu tak nyaman setengah mati. Apalagi saat ini situasinya seluruh isi hatinya secara tersirat telah tersuarakan oleh temannya yang bernama Marc.

Tahu kalau ini bukan gara-gara gadis itu, ia menghela napas. Tubuhnya kembali tenang serta padangannya bergeser hingga lurus pada kota Seoul yang berkelip di malam hari. Tak ingin menyulut amarah sekarang, ia lebih memilih menyimpan emosinya untuk orang bernama Marc jika suatu saat dibutuhkan.

Suara Seunji terdengar di antara tiupan angin. "Maaf." Jimin melirik dengan ujung matanya. Entah kenapa, Seunji merasa lirikan itu tak lagi mengintimidasi. Kini pandangannya kembali kehadapannya. Agak sedikit bingung, karena Jimin yang saat ini terlihat sangat teduh dan damai. Sangat berbanding terbalik saat berada di markas Gewetensvol.

Dilihatnya, lelaki itu tersenyum tipis seraya berucap, "Tidak perlu meminta maaf."

Gadis itu ikut bertopang sikut di pagar balkon. Ia ikut dalam keheningan, pandangannya lurus pada lampu yang berkelip diantara jendela-jendela gedung yang menjadi ribuan titik cahaya. Malam ini, bintang juga ikut bersinar menyebar di langit yang gelap, menciptakan kilau yang indah menyandingi bulan.

Seunji menoleh, ia masih mendapati lelaki itu terdiam dengan napas yang tenang. Pasti ada sebuah alasan yang membuatnya berdiam di balkon. Musim gugur hampir tiba, malam ini terkesan sedikit dingin untuk seseorang yang mengenakan kaus tipis dengan terpaan angin. Ia melihatnya dengan tidak nyaman, berbading terbalik dengan lelaki di balkon sampingnya yang terlihat sangat nyaman dan damai.

"Sampai kapan kau akan melihatku?"

Gadis itu mengerjap dan mengalihkan padangannya ke bawah, cukup tinggi jika dilihat dari lantai 4. Ia mengulum bibirnya, mengendikan bahu. "Kau terlihat memikirkan sesuatu." Ia memainkan kakinya, sedikit ragu dengan ucapannya. "Apa yang kau lakukan sebelum pulang?" Ujarnya kemudian.

Jimin mengusap rambutnya ke belakang. Rambut hitamnya sudah mulai memanjang, tapi tentu itu tak memgganggunya sama sekali. Ia sedikit tak yakin dengan apa yang aka  dikatakannya. Berhubung ia mengingat bahwa gadis yang saat ini berbicara padanya bukan sembarang orang. "Aku menemukan... Umpan? Entahlah,"

Jimin menjeda kalimatnya. Gadis itu tak berkutik dan menunggu lelaki itu melanjutkan. Namun, tak kunjung ada suara kembali, ia menoleh seraya mengerutkan dahi. "Umpan?"

"Aku akan pergi ke Jeolla."

Detik itu juga, Seunji membeku. Mendengar lagi nama kota terpencil yang satu itu membuatnya seperti memutar kembali kaset-kaset lama yang disimpannya rapat-rapat. Ia menarik napas dengan gugup, suaranya menjadi sedikit terdengar getir saat ia berbicara dengan terbata, "K—kenapa?"

Terselip perasaan tidak nyaman di hatinya. Jimin mengerutkan kening saat gadis itu berujar. Ia meliriknya dengan hati-hati. Gadis itu melihat lurus pada laut yang jauh berada di depannya. Gadis itu menoleh hingga membuat atensi keduanya bertemu. Apa yang ia temukan saat itu, mata cerah hazel yang meredup seketika. Lalu pandangsnnya jatuh pada kedua tangan gadis itu yang bertumpu di pagar balkon, terlihat gugup dan bergerak gelisah.

"Aku akan pergi ke rumahku dulu." Ia menoleh. "Kau ingin menyampaikan sesuatu?"

Seunji tak yakin. Jadi ia hanya sebatas memaksakan senyum dan menggeleng kecil. Ia kembali menerawang isi langit. Dalam bayangannya, terlihat seorang anak kecil, bemain-main di sebuah taman berpasir. Anak itu berlarian kesana kemari menikmati waktu bermainnya. Dari kejauhan, seorang lelaki muda mengawasinya sembari tersenyum melihat tingkah anak kecil itu. Jika diingat, kota itu memiliki kenangan yang berharga untuk disimpan sekaligus peristiwa yang tak ingin pernah di dengar lagi.

GWTN I; Bonds ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang