Tak ada yang ia rasakan dengan pasti, hanya merasa sedikit bobot tubuhnya naik juga gerakannya yang tak bebas. Dan ketika ia mencoba mengangkat tangannya, tak ada pergerakan yang berarti. Tapi dalam kegelapan itu, Jimin bahkan tak bisa mengeluarkan suara barang sekadar gumaman.
Jimin memaksa tubuhnya untuk bangkit, bagaimanapun caranya ia harus segera bangun. Kini rasanya pasti, hanya rasa sakit yang dirasa. Tapi ia tak menyerah, ia terus melawan seluruh rasa sakitnya ia ia berhasil bangun.
Kegelapan yang dilihatnya menghilang. Itu bagus. Tapi tidak bagus saat obsidiannya menangkap plafon pastel dengan warna nyaman, tapi kantung infus yang menjadi objeknya.
Jimin masih berbaring di ranjang pesakitannya, ia berpikir rasa sakitnya hanyalah efek belaka dari bergulat dengan pikirannya. Matanya jadi cukup berat untuk dibuka, bahkan rasa dimulutnya kering dan hambar. Beberapa bagian tubuhnya bahkan terasa kebas.
Jimin terlonjak kaget saat dirinya baru menangkap kehadiran sesosok lelaki yang sedari tadi duduk di sampjng ranjangnya. "Setelah tiga hari, akhirnya kau bangun." Kata lelaki itu.
Jimin mengerutkan kening. "T-tiga..." Jari bergerak gelisah mendengar suaranya yang hampir hilang, belum lagi lelaki disampingnya bilang, tiga hari katanya?
"Iya, tiga. Ku kira kau berniat ma—" lelaki itu terhenti sejenak, lalu menggeleng keras. Jangan asal bicara, batinnya. "Masuk ke dalam mimpi lebih dalam."
"Aku h—harus pulang."
Lelaki itu terkesiap ketika Jimin melawan seluruh ketidak mampuannya untuk bangkit saat ini. Ia pastinya tahu jika orang berbaring terlalu lama—bahkan dirinya paling lama tidur 15 jam—maka sebagian besar tubuh akan kebas. Itu 15 jam. Nah, sudah pasti 'kan kalau terbaring tiga hari tak bergerak sama sekali bagaimana jadinya? Lelaki terus membujuk Jimin dengan kata-katanya agar kembali berbaring di kasur yang pada akhirnya berhasil ia lakukan.
"Rumahmu sudah tak aman lagi, kau tidak bisa kembali kesana, tahu?"
"Tidak tahu, tuh." Jimin terlihat pasrah saat kembali mengingat kejadian yang baru saja terjadi semalam—baginya. Pertama Ayahnya, lalu Ibunya, kemudian keluarganya, bahkan tempat tinggal, apalagi uang, alasan Jimin dapat bertahan hidup, semuanya hilang dalam sekejap. Jika melihat fakta, ia adalah gelandangan saat ini, sebatang kara dan tak punya tempat untuk pulang. Dan sekarang ia terjebak diruangan—yang tentunya terlihat mahal—bersama seorang lelaki yang bahkan tak pernah ia temui sebelumnya tapi dia bahkan tahu rumahnya tak bisa ditempati lagi. Ia melirik kembali kepada lelaki disampingnya. "Kau siapa? Kau tahu tentangku?"
Lelaki disampingnya kembali duduk dengan tenang, seakan ingat sesuatu ia menjentikan jari. "Benar juga, aku belum memperkenalkan diri." Ia berdehem. "Aku Kim Namjoon, aku salah satu anggota yang menangani kasus yang terjadi tiga hari lalu. Dan juga, aku teman Min Yoongi, dulu. Aku tidak memegang tugas berat seperti yang lain tetapi aku tetap ikut andil dalam kasus ini."
Jimin mengerjap. "Anggota?" Tanyanya.
"Aku adalah anggota organisasi perkumpulan detektif dari Gewetensvol, salam kenal."
Jimin mengerutkan keningnya. Gewetensvol? Yoongi selalu mengincarnya. Ia tahu lelaki itu akan melakukan sesuatu pada organisasi itu. "Kau berteman dengan Yoongi?"
Namjoon mengendikkan bahunya, terlihat sedikit malas untuk menjawab pertanyaan yang kelewat biasa. Pikirannha lalu melayang pada masa lalu dimana dirinya dan Yoongi selalu bermain bersama, berangkat sekolah bersama, bahkan rumahnya bersebelahan.
Tapi Yoongi berubah. Ia tak tahu apa masalahnya tetapi tak lama sikapnya berubah pada semua orang, Yoongi pindah dari Seoul. Sejak saat itu, Namjoon dan Yoongi tak pernah bertukar kabar lagi. "Yah, anggap saja begitu." Jawab Namjoon pada akhirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
GWTN I; Bonds ✔
FanfictionBegini, Jimin tak pernah menganggap Yoongi selama hampir sepuluh tahun. Tak peduli dengan eksistensinya yang mulai hilang dari Gewetensvol hingga kasusnya dilebur. Hanya saja saat Yoongi mengancam kehadiran detektif dengan kode panggilan A3 010 J. R...