12. Perhatian

1.3K 93 17
                                    

Beranda sekolah ramai karena para siswa baru selesai upacara. Theon melangkahkan kakinya menuju kantor guru. Namun ....

Plak!!!

Tiada angin tiada hujan, Hazel menempeleng kepala Theon dari belakang. Theon termangu sambil memegangi bagian belakang kepalanya. Cowok itu menoleh pada Hazel kesal.

Hazel berkacak pinggang. Gadis itu tak mempedulikan tatapan heran para siswa yang terkesima dengan tingkahnya.

"Ngapain lo di sini?" serangnya tanpa basa-basi.

Theon memasang wajah datarnya seperti biasa. "Sekolah."

"Ya gue tau. Maksud gue kenapa lo sekolah di sini?"

"Karena papa daftarin gue di sekolah ini."

Hazel mengeratkan gerahamnya. Dia geram dengan jawaban Theon yang simpel tapi mengesalkan itu.

"Kenapa seragam lo beda?"

Theon menatap Hazel sebentar, kemudian meninggalkan Hazel tanpa jawaban. Menurutnya menjawab pertanyaan gadis itu tidak akan menyelesaikan apapun dan terlalu membuang-buang waktu. Waktu adalah hal yang sangat berharga baginya.

Hazel tercengang di atas pijakannya. Kurang ajar sekali Theon itu. "Woy!! Jawab dulu! WOOYYY!!" pekiknya. Membuat siswa lain di sebelahnya terlonjak kaget akibat pekikan Hazel.

Cowok yang diteriaki justru tak menghiraukan gadis itu sama sekali. Dia dengan santainya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

***

Hazel duduk di kursinya sambil mencubit-cubit topi sekolah karena kesal. Wajahnya terus saja dia tekuk seribu. Cowok itu benar-benar sudah merusak mood-nya. Untung saja guru mata pelajaran geografi hari ini tidak bisa masuk, jadi Hazel bisa sedikit menenangkan dirinya.

"Hahhhh~"

Suara helaan napas berat terdengar sampai ke telinga Hazel. Hazel menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu berasal dari mulut Mei. Hazel baru sadar kalau dari tadi sahabatnya itu hanya menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Mei terlihat murung.

"Kenapa lo?"

Mei tersentak menatap Hazel. Tingkah gadis itu membuat Hazel mengerutkan dahinya heran. Mei hanya menggeleng dan kembali menunduk.

Ada yang salah dengan sahabatnya.

Raut wajah Hazel yang tadinya keras karena kesal, sekarang mengendur dan melembut. Dia bertanya pada Mei, "Pasti karena orangtua lo lagi, kan?"

Mei terdiam. Gadis itu tidak mengatakan apapun. Tapi itu cukup untuk menjawab semua pertanyaan Hazel.

Hazel bersandar pada sandaran kursi. Gadis itu juga menghela napas berat. "Lo seharusnya bersyukur, Mei. Seenggaknya orangtua lo masih utuh. Mama lo masih bisa anter jemput lo ke sekolah tiap hari. Papa lo ...." Hazel menunduk. "masih sayang sama lo."

Mei menatap Hazel karena tak paham dengan maksud perkataan gadis itu. Hazel melanjutkan, "Walaupun mereka sering berantem, tapi mereka berantem demi lo juga. Mereka pengin lo sukses di umur lo yang masih muda kayak sekarang. Mereka gak mau lo sengsara dan akhirnya nyesel di kemudian hari."

Hazel membalas tatapan Mei. "Kali ini mereka maksa lo apa lagi?"

Mei terlihat merenung. "Mama pengin gue jadi atlet catur. Papa pengin gue jadi atlet ice skating," jawabnya lemah. "mama bilang catur nggak perlu pake otot, jadi nggak akan nimbulin cedera kayak gue sekarang. Tapi sejujurnya, gue gak mau jadi atlet."

"Kenapa?"

"Karena gue ngerasa ini bukan diri gue, Zel. Ini bukan jiwa gue. Ini bukan hidup gue. Banyak yang bilang kalo kita harus ngejalanin apa yang kita sukai dan ngejauhin apa yang kita gak suka. Tapi petuah itu gak berlaku buat gue. Gue bahkan gak bisa meraih apa yang bener-bener jadi impian gue. Gue gak bisa walau untuk sekadar nyicipin rasanya memperjuangkan hal yang gue suka." Mei menunduk semakin dalam untuk menutupi matanya yang mulai berair.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang