59. Berhenti Berdetak

919 102 19
                                    

Setelah melakukan ritual rutinitas skincare pada wajah mulusnya, Hazel melempar tubuh ke atas kasur. Dia tengkurap sambil memegang novel yang baru dia beli tadi. Dia sangat penasaran dengan isi dari novel tersebut karena sinopsisnya sangat mirip dengan kisahnya sendiri.

Dia mulai membaca lembar demi lembar. Di lembar-lembar awal, Hazel sudah merasakan ada hal yang ganjil. Pasalnya, ceritanya benar-benar mirip dengan apa yang dia alami. Sangat mirip sampai Hazel bukan merasa sedang membaca sebuah cerita yang dialami si tokoh, melainkan membaca diari lamanya yang telah usang.

Ingatan menyakitkan yang ingin dia kubur dalam-dalam seolah ditarik keluar secara paksa. Dia pun melompat-lompat bab, berharap di bab-bab selanjutnya alur ceritanya akan berbeda dari apa yang dia alami. Namun hingga akhir, semuanya sama persis. Hanya ada sedikit perbedaan nama tokoh dan beberapa adegan yang ditambah dan sedikit dikurangi sebagai pemanis. Selebihnya sama.

Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Theon, kebenciannya pada Ruth dan Theon, kejadian-kejadian kecil yang berhasil merajut tali kasih antara mereka, hingga kejadian besar yang akhirnya menghancurkan kebahagiaannya. Semuanya tertulis dengan rangkaian kalimat yang menyesakkan dada.

Hazel melompat ke lembar paling akhir. Matanya membulat, tertegun. Dia terkesima membaca satu kalimat singkat yang tertulis di lembar itu.

Cerita ini dipersembahkan untuk adikku tersayang, HA.

Tertanda,

LetterboxTA

***

HA. Nama dengan inisial HA bukan cuma gue, kan? Tapi kenapa gue ngerasa terpanggil? Hazel sibuk dengan pikirannya sendiri, mengabaikan Dion yang kebingungan menghadapi putrinya di depannya ini.

Seperti janjinya kemarin lusa, Hazel makan malam romantis bersama ayahnya. Makan malam itu seharusnya diselimuti dengan kehangatan dan obrolan-obrolan ringan antara ayah dan anak. Tapi, Dion merasa seperti makan sendirian. Banyak dari pertanyaannya yang tidak dihiraukan.

"Kamu sakit?" Dion bertanya dengan nada khawatir melihat putrinya yang hanya menatap daging steak di hadapannya tanpa menyentuhnya sama sekali.

Kalimat Dion sepertinya belum terproses dengan baik di gendang telinga putrinya. Terlukis dari raut wajahnya yang tidak tampak merespons. Hazel masih sibuk dengan segala pergulatan di kepalanya. Dion pun bertanya sekali lagi seraya menyentuh pelan tangan putrinya, "Kamu nggak apa-apa, kan?"

Hazel sedikit terlonjak. Fokus matanya kembali pada ayahnya. Suara musik jazz restoran yang sempat teredam di kepala kembali terdengar di telinganya. Untuk beberapa detik, otaknya masih memproses apa yang ayahnya katakan barusan. Setelah dia berhasil menangkap pertanyaan ayahnya, Hazel tergugu. "Ah ... eum ... nggak, Pa. Hazel nggak apa-apa. Banyak kerjaan Hazel yang belum selesai," dalihnya.

"Tadi kamu bilang kerjaan kamu sudah selesai semua?"

Hazel terbungkam sejenak. Benar. Sebelum berangkat ke restoran ini dia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya.

"Dari pagi kamu kelihatan tidak fokus. Waktu rapat pun kamu lebih banyak diam. Apa pekerjaan kamu terlalu berat? Atau papa mengganggu pekerjaan kamu karena biasanya jam segini kamu masih melanjutkan pekerjaan di kamar?"

Segera saja Hazel mengibaskan tangannya ke udara. "Bukan gitu, Pa. Hazel cuma ... cuma ...." Hazel menggantung kalimatnya, berusaha mencari alasan yang dapat diterima, tapi tidak berhasil.

Dion menghela napas berat. Pria itu pun mengeluarkan sebuah paper bag putih berukuran besar dengan logo brand fashion terkenal tertera jelas di tengah-tengah. Kemudian, dia meletakkan benda itu ke atas meja. Hazel menerima itu dengan dahi sedikit terlipat.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang