21. Kehilangan

1K 90 11
                                    

"Kita ketemuan di Star Cafe. Sekarang. Ada yang perlu gue omongin ke lo." Kalimat itu langsung saja Hazel lontarkan begitu David mengangkat panggilan teleponnya.

David terdiam di seberang telepon, namun akhirnya dia berbicara, "Kalau nanti aja gimana? Sekarang aku gak bisa. Aku mau—"

"Sekarang," tukas Hazel tak mau tahu. Kemudian, dia melanjutkan, "atau kita putus sekarang juga."

"Aku telat gak pa-pa, ya?"

"Kalo gitu kita putus!"

"Oke, oke. Aku ke sana sekarang. Kamu tunggu di sana, aku pergi sekarang juga."

"Gak pake lama." Kemudian, Hazel memutus panggilannya lebih dulu.

Setengah jam Hazel menunggu, akhirnya yang ditunggu muncul juga. Dengan mengenakan setelan jaket kulit berwarna hitam dan celana jeans, David menghampiri Hazel dan duduk berhadapan dengannya.

"Mau ngomong apa, sih? Kayaknya penting banget," kata David sambil tetap berusaha tersenyum ramah. Nada bicaranya terdengar lembut seperti biasa.

"Oh, nggak. Nggak penting, sih. Gue cuma mau jujur aja."

"Jujur? Jadi, selama ini kamu bohong sama aku gitu?" David terkekeh. Sebenarnya pertanyaan itu David lontarkan hanya untuk bercanda. Tapi siapa sangka kalau Hazel justru menanggapinya dengan serius. "Iya. Selama ini gue bohong sama lo. Semua hal yang gue lakuin ke lo selama hampir sebulan ini cuma kebohongan. Ketawa gue di depan lo, itu bohong. Senyum gue untuk lo, itu juga bohong. Dan perasaan gue ke lo, itu bahkan kebohongan terbesar."

David tercenung cukup lama, berusaha memproses kata demi kata yang pacarnya ucapkan barusan. "K-Kamu ngomong apa sih, Zel?" ujar David menggagap.

"Vid, sebenernya selama ini gue nggak punya perasaan apapun sama lo. Gue nerima lo waktu itu cuma kecelakaan."

"Kecelakaan? Kamu lagi sakit ya, Zel?" David menjulurkan tangan, berniat untuk menempelkannya pada dahi Hazel untuk memastikan suhu tubuh gadis itu. Hazel segera menepis tangan David.

"Gue sehat," tuturnya. "Vid, gue nyesal udah nerima lo sembarangan waktu itu. Akhirnya, gue malah nyakitin perasaan lo. Gue minta maaf."

David tentu saja tertegun setengah mati. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Bibirnya membeku, begitu pula dengan sekujur tubuhnya, membatu. Ucapan Hazel begitu jelas berdengung di gendang telinganya. Suasana yang tidak terlalu ramai di kafe ini semakin mendukung David untuk meyakinkan bahwa dia tidak salah dengar.

"K—Kamu lagi bikin prank ya?" tanya David seperti orang bodoh. "prank kamu nggak lucu, lho."

"Gue serius."

Dua kata yang sukses membuat hati David mencelus dalam sekali pukul. David adalah sosok laki-laki yang kuat dan tegar. Tapi entah kenapa, kali ini dia ingin menangis. Hatinya hancur berkeping-keping menjadi beberapa pecahan.

"Jadi ... kamu mau kita gimana?" lirihnya penuh keputus-asaan. Sebenarnya David sudah tahu arah pembicaraan ini. Tapi, dia memilih untuk pura-pura bodoh. Dia hanya bisa berharap kalau apa yang dia takutkan, tidak pernah terjadi. Dia hanya bisa berharap kalau semua pikiran buruknya adalah salah.

Namun ....

"Gue mau kita putus," pinta Hazel dengan nada yang sangat dingin. Saking dinginnya mampu membuat sekujur tubuh David menggigil.

David meraih tangan Hazel dan menggenggamnya erat, "Zel, kasih aku kesempatan buat bikin kamu jadi suka sama aku, ya? Kita bahkan belum sampe sebulan. Aku yakin pasti bisa bikin kamu jatuh cinta sama aku."

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang