50. Berubah

949 90 8
                                    

"Mei, mama sama papa di sini, Nak," sapa Dita yang baru memasuki kamar rawat putrinya.

Mei tampaknya masih menolak untuk bicara pada ibunya karena gadis pucat itu masih enggan menanggapi walau sekadar menoleh.

"Kalau ada yang mau kamu ungkapkan, ungkapkan, Nak. Mulai sekarang mama akan dengar semua yang kamu keluhkan. Kamu bebas protes, marah, kesal, bahkan kamu boleh pukul mama kalo itu yang buat kamu lega. Asal kamu gak tinggalin mama," ujar wanita itu setelah berhasil duduk di hadapan putrinya. Namun Mei terus menghindar.

Dita menggenggam tangan putrinya. Tapi, Mei masih tak menggubris.

Sekarang Guruh yang mencoba memancing Mei berbicara, "Nak, mama sama papa janji akan berubah. Tapi, kami harus tahu keinginan kamu supaya kami bisa introspeksi diri."

"Paling tidak kamu beri tahu perasaan kamu saat ini," timpal Dita.

Karena sama sekali tidak mendapat respons apa-apa, keduanya pun menyerah. Guruh menghampiri Dita dan menyentuh lembut bahu wanita itu, "Mei masih butuh waktu," bujuknya.

Tapi, sebagai seorang ibu, Dita merasa hancur karena diacuhkan putri semata wayangnya. Wanita itu bahkan tidak tahu, apakah hubungannya dengan putrinya sudah benar-benar retak dan tidak bisa diperbaiki lagi atau seperti yang dikatakan suaminya, Mei hanya membutuhkan waktu.

Dita terlihat kecewa. Bukan kecewa pada putrinya, tapi kecewa pada dirinya sendiri karena tidak pernah terpikir kalau putrinya akan sehancur ini akibat sikapnya selama ini.

"Maafin Mama, Nak," lirih Dita menaham air matanya yang hendak tumpah. Dita mencium telapak putrinya persis seperti yang dia lakukan sesaat setelah dia melahirkan Mei dulu. "kamu berhak marah sama mama. Kamu boleh benci sama mama sampai kamu merasa lega. Yang penting kamu nggak berusaha ninggalin mama lagi."

"Dita, sudah ... berikan Mei waktu untuk berpikir." Guruh mencoba membawa istrinya keluar. Menurutnya, memaksa Mei hanya akan berdampak buruk pada putrinya.

Air mata Dita mulai menetes. Saat ini wanita itu benar-benar rapuh. Akhirnya Dita menuruti perkataan suaminya dan bangkit dari duduknya.

"Mei gak bahagia, Ma," gumam Mei buka suara.

Dita dan Guruh tertegun bersamaan. Wanita itu langsung berhambur mendekati putrinya lagi. Mendengar suara putrinya membuat Dita merasa melihat sececah harapan di sana.

"Kamu tadi bilang apa, Nak?"

Mei mengangkat kepalanya menatap Dita. Dita menunggu ucapan Mei harap-harap cemas. "Mei gak bahagia ..." ulang Mei dengan tatapan hampa.

Dita terpegun.

"Mei ... sengsara karena terus dipaksa. Mei bukan kuda yang bisa kalian pukul kalo gak mau jalan. Mei bukan robot yang bisa diatur mode-nya supaya jadi penurut. Mei manusia dan Mei pengin jalanin apa yang Mei suka," ungkapnya.

"Mei gak mau jadi atlet. Mei punya hobi Mei sendiri. Tapi Mama sama Papa gak pernah mau tau. Mei pengin perjuangin hal yang Mei suka. Kalau pun Mei gagal, Mei puas. Mei gak akan menyesal dan Mei pasti bahagia," tambahnya.

Selama ini Dita menekan Mei untuk memiliki prestasi sebanyak mungkin agar putrinya tidak hidup sengsara. Namun, apa artinya prestasi kalau hal itu justru membuat putrinya menderita?

Meskipun saat ini Mei sudah beranjak dewasa, bagi Dita, Mei tetap putri kecilnya yang dia besarkan dengan harapan akan hidup bahagia. Tapi, apa yang sudah dia lakukan? Justru dia yang menghancurkan kebahagiaan putrinya. Ibu macam apa dia?

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang