25. Hukuman

1K 84 8
                                    

Tidak seperti biasanya, di Senin pagi yang cerah ini Hazel tampak murung. Dia terus berjalan menunduk seolah teman-temannya tahu apa yang telah terjadi padanya lusa malam.

"Zel, kelewatan. Kelas lo di sana," bisik Theon mengingatkan. Hazel mengangkat kepalanya, melirik sekilas Theon yang sedang menunjuk ke arah belakang, kemudian memutar kepalanya mengikuti arah tangan Theon. Benar saja, saking tidak fokusnya, Hazel sampai tidak sadar kalau dia sebenarnya sudah sampai di kelasnya.

"Lo gak pa-pa, kan? Apa perlu gue anter?"

Hazel menggeleng sambil tersenyum tipis. Tanpa mengucap sepatah kata pun, Hazel berlalu memasuki kelasnya. Gadis itu berharap sahabatnya, Mei, sudah datang lebih dulu sehingga dia bisa menceritakan semua yang menjadi unek-uneknya pada Mei. Sayangnya Mei belum datang.

Tapi, tak lama kemudian, Mei masuk ke kelas. Langkahnya begitu lemah dan sama tak bersemangatnya dengan Hazel. Mei mendongak. Matanya langsung bersinggungan dengan mata Hazel. Saat itu juga langkah kaki Mei terhenti.

"Mei!" Hazel tersenyum tipis seraya melambai pada sahabatnya. Namun, benar-benar tak disangka, Mei justru berbelok dan mengucapkan sesuatu pada Reza. Selintas Reza menoleh menatap Hazel, kemudian kembali pada Mei dan menggeleng. Mei tampak menggertaknya sehingga Reza terpaksa menurut. Reza bangkit sambil mengangkut tasnya, lalu duduk di kursi tempat Mei seharusnya duduk—di samping Hazel.

Hazel mengernyit. "Ngapain lo ke sini?"

"Di suruh Mei," jawabnya singkat dan tampak terpaksa. Hazel memandangi punggung sahabatnya yang entah kenapa menjauhinya itu.

Di lain tempat, Theon melanjutkan langkah menuju kelas. Sebagai kakak, dia merasa khawatir terhadap Hazel yang tidak seceria biasanya. Theon baru menyadari bahwa dia merindukan sisi ceria nan cerewet Hazel. Paling tidak, akan lebih baik begitu karena Theon tahu Hazel masih baik-baik saja.

Begitu Theon sampai di kelasnya, tanpa menghiraukan tatapan kagum para cewek di kelas, Theon duduk di kursinya dan bersandar merenungi percakapannya dengan David kemarin.

*

"Lo tau? Membunuh gak harus dilakukan secara langsung," kata David. Theon tidak paham dengan apa yang diucapkan cowok di depannya ini. Dia mengernyitkan dahinya sebagai isyarat. David melanjutkan, "Terkadang ucapan seseorang, komentar jahat, perlakuan seseorang yang memaksa pihak lain untuk nurutin kehendak dia itu juga bisa membunuh."

"Gak usah bertele-tele. Maksud lo apa?"

"Maksud gue?" David mendengus. "Adek lo udah bunuh bibi gue, masa depan Dania, dan nurani gue!"

"Bunuh?"

David tidak menjawab pertanyaan Theon yang menuntut penjelasan lebih lanjut. Dia justru balik bertanya, "Lo tau kalo Ken cuma perantara gue untuk balas dendam sama adek sialan lo itu?"

Mendengar adiknya dikatai sialan, darah Theon mendidih. Dia berlari dan menyambar kerah David penuh emosi. "Jaga ucapan lo!" geramnya sambil menyorot tajam mata David.

David menyunggingkan smirk mengejeknya. Seolah tak peduli dengan ancaman Theon, David melanjutkan, "Awalnya dia yang gue perintahin untuk ngancurin masa depan adek lo. Gue kasih dia obat perangsang untuk dimasukin ke minuman Hazel. Tapi, sayangnya rencana dia dikacau-in sama lo. Bener, kan?"

Ingatan Theon melayang ketika Ken menuangkan cairan dalam botol biru itu. Jadi ...?

Bugh!

"Berengsek!"

Luka di bibir David yang belum kering pun kembali koyak. Darah segar kembali mengalir di bibirnya. Semalam David langsung membalas Theon, namun tidak dengan kali ini. David justru tertawa meledek seakan itu adalah hal yang lucu. Sepertinya David ini bukan harus diserahkan ke polisi, melainkan psikiater.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang