9. Jalan-jalan

1.1K 94 4
                                    

Hazel paling terakhir keluar dari rumah. Hari ini gadis itu mengenakan dress merah maroon selutut dengan lengan tiga perempat dan sepatu sneakers putih bercorak bunga mawar. Rambut panjangnya dikuncir setengah dan di-curly bawah. Tak lupa dengan tas selempang hitam yang menggantung di pundaknya.

Tidak terlalu banyak riasan di wajahnya. Hanya bedak bayi dan juga lipgloss bening untuk melembabkan bibirnya yang sudah merah. Hazel cemberut, tapi tetap terlihat cantik.

Hazel masuk ke mobil, menyusul Ruth, Dion dan Theon yang sudah lebih dulu menunggunya. Ketika membuka pintu, dia langsung bersemuka dengan Theon.

Cowok itu mengenakan kemeja biru dongker yang kancingnya dibuka semua. Menampilkan kaos putih dengan logo Adidas di tengah-tengah. Lengan panjangnya dia gulung sampai ke siku. Jeans abu membalut kakinya yang panjang. Juga sepatu sport hitam dengan tali biru sebagai alas kaki. Sederhana, tapi mampu membuat gadis manapun klepek-klepek melihatnya.

"Wah! Anak-anak papa ternyata cakep-cakep ya!" Dion melebarkan senyumannya sambil menoleh ke belakang kemudi.

Hazel masih cemberut. "Cepetan jalan sih, Pa!"

Dion tertawa melihat respon putri cantiknya. "Siap, Bos!" guraunya pada Hazel sambil bersikap hormat.

Hazel membuang mukanya ke luar jendela. Tak lama kemudian, mobil mereka melaju santai.

***

Mewah.

Itu yang ada di dalam benak Theon ketika mereka memasuki gedung mall ini. Barang-barang di sini sudah pasti bermerk dan mahal.

"Kita ke toko hape dulu, yuk!" ajak Dion pada Theon. "papa lihat hape kamu udah jadul. Papa mau beliin kamu hape baru."

Hazel sontak menatap Theon cemburu. Kemudian melirik ponselnya yang layarnya sudah retak. Maklum, Hazel memang tidak bisa diam dan ceroboh. Tiap kali dia membeli ponsel, sudah pasti layarnya akan retak.

Mereka memasuki toko ponsel. Ruth dan Hazel duduk menunggu tanpa banyak melakukan tawar-menawar karena hal itu sudah Dion lakukan.

Hazel melirik Dion dan Theon sekilas, lalu mencebik. Dia tidak suka melihat senyuman Theon yang terus-menerus mengembang di wajahnya.

"Gimana? Kamu suka yang ini?" tanya Dion akhirnya. Theon mengangguk tanpa melepas senyumannya. Dia suka. Sudah pasti dia suka. Apapun pemberian ayahnya, dia akan sangat menyukainya.

"Kalau begitu, saya beli yang ini." Dion berkata pada pelayan toko. Pelayan itu pun mengangguk sambil membawa ponsel yang dimaksud dan menyiapkannya.

Melihat itu, Hazel pun mendekat.

"Papa." Hazel memasang wajah memelas. Dion dan Theon menoleh bersamaan. "Kenapa, Sayang?" tanya Dion.

Hazel menyodorkan ponselnya yang sudah retak ke hadapan Dion. "Hape Hazel juga udah rusak. Pengin beli hape baru."

Dion melirik ponsel Hazel. "Kan baru tiga bulan yang lalu kamu ganti hape. Masa udah ganti lagi?"

"Tapi Hazel juga pengin hape baru."

Dion menghela napas. "Kita benerin layarnya aja ya? Kita ganti layarnya."

Hazel mencebik. Dia menatap Theon sekilas, lalu membuang muka. "Ya udah, deh," ujarnya pasrah. Sebenarnya Hazel memang tidak ingin ponsel baru. Terlalu repot baginya untuk mengatur dan menyimpan semua nomor telepon yang sudah tersimpan di ponsel lamanya ke ponsel baru. Dia sengaja melakukannya karena ingin mencari perhatian Dion saja.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang