22. Butuh Waktu

984 89 7
                                    

Piring-piring di dalam bak cuci piring sudah tercuci bersih dan tertata rapi di atas rak. Lantai sudah disapu dan dipel tanpa menyisakan sedikitpun debu. Setelah selesai membersihkan dapur, sekarang Theon beralih ke ruang keluarga.

Sejak tadi, Ruth hanya bisa diam memperhatikan tingkah putranya. Wanita itu mengenal persis semua sikap putranya berdasarkan suasana hatinya. Dan saat ini Ruth tahu, Theon tengah menahan marah.

Ketika Theon marah, dia akan membersihkan seluruh sudut ruangan tanpa beristirahat. Setelah selesai membersihkan yang satu, dia akan langsung menyambung membersihkan bagian yang lain. Walaupun sebenarnya bagian itu sudah dibersihkan.

Theon bahkan tidak berganti pakaian. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya. "Nak, ganti baju dulu," tegur Ruth.

"Biar sekalian aku cuci kalau kerjaan aku udah selesai," jawab Theon tanpa menghentikan kegiatannya mengelap meja.

"Baju kamu putih. Kalau kena noda, susah dibersihkan."

"Nanti aku rendam pake pemutih."

Ruth menghela napasnya. Dia pun semakin bertanya-tanya tentang apa yang membuat Theon sekesal ini. Wanita itu menyentuh bahu Theon dan berujar lembut, "Apa yang bikin kamu semarah ini, Nak?"

"Aku nggak marah, Ma," jawabnya tanpa menoleh.

Ruth mencengkram pelan bahu Theon. Theon pun menoleh pada ibunya. Dahinya yang tadi berkerut tegas, mengendur dengan sendirinya begitu dia menatap manik lembut ibunya.

Ruth meraih bahu Theon yang bebas dan menarik putranya menghadapnya. "Belasan tahun mama rawat dan besarkan kamu. Nggak mungkin mama nggak bisa baca kalau saat ini kamu lagi marah. Ada apa, Nak? Siapa yang buat kamu marah?"

Seorang ibu, tetaplah seorang ibu. Meskipun Theon bukan putra kandungnya, Ruth masih mencintainya. Ruth telah merajut tali batinnya pada Theon semenjak kali pertama wanita itu menggendong Theon kecil. Ditambah Ruth sempat menyusui Theon hingga air susunya mendarah daging dalam darah Theon, walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit dan tidak cukup mengenyangkan. Hal yang wajar apabila Ruth dan Theon memiliki ikatan batin.

"Hhh ...." Theon menghela napas. Dia meletakkan kain lap di atas meja, kemudian tersenyum hampa seraya menggeleng pelan. "nggak ada kok, Ma. Aku cuma butuh olahraga aja. Udah lama gak olahraga," kilahnya.

Ruth menilik mata putranya sejenak. Walaupun sebenarnya wanita itu tahu kalau Theon hanya berdalih, namun dia pun menyerah. Dia melepas genggaman tangannya pada bahu Theon dan berkata, "Ya sudah. Kalau begitu, sudah cukup olahraganya. Sekarang kamu istirahat."

Tak mau membantah, Theon pun mengangguk menuruti perintah ibunya. Dia bergerak mengambil tasnya yang tadi dia lempar begitu saja ke atas sofa.

***

Motor ninja milik Ken berhenti tepat di depan pagar rumah Hazel. Ken sengaja tidak mengantar Hazel sampai halaman seperti biasa. Dia tidak ingin menampakan wajahnya pada keluarga Hazel. Karena dia tahu, sebentar lagi dia akan menjadi buronan keluarga gadis itu.

"Nggak mau main dulu?" tanya Hazel begitu dia turun dari ninjanya.

"Nggak. Gue mau langsung pergi lagi. Lo masuk, gih."

Hazel menggeleng. "Nggak. Lo pergi duluan aja."

"Jangan. Lo duluan yang masuk. Biar gue liatin dari sini."

"Nggak, nggak. Lo dulu—"

"Mau pisah aja pake drama dulu," sela seseorang yang terdengar ketus. Hazel dan Ken menoleh berbarengan. Mereka mendapati Theon hendak pergi ke luar rumah. "tinggal yang satu masuk, yang satunya lagi pergi aja ribet amat," cibirnya cuek bebek.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang