26. Alasan (b)

982 79 9
                                    

Sudah dua hari Theon terbujur demam di atas kasurnya akibat dari hukuman dari ayahnya itu. Mungkin karena ini pengalaman pertamanya dimarahi, bahkan sampai dipukul, Theon seakan-akan kehilangan seluruh tenaganya. Anak yang sejarah hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan neko-neko seperti Theon harus melewati fase trauma yang luar biasa selepas dimarahi orangtuanya sendiri.

Yah ... mau bagaimana lagi? Theon tidak ingin mengeluh. Dia benci mengeluh. Oleh karena itu, dia harus tetap bersemangat karena masa skorsnya tinggal tersisa dua puluh delapan hari lagi. Suatu hal yang perlu dirayakan.

Tok tok tok

"Masuk aja, Ma."

Cklek

"Zel?" Theon beringsut duduk meski kepalanya terasa pening. Sedikit meringis, Theon bertanya, "Lo gak sekolah lagi?" Wajar Theon bertanya begitu, selama dua hari ini gadis itu sudah bolos sekolah. Alasannya ...

"Gak mood." Singkat, namun penuh penekanan. Theon hanya bisa berdecak heran melihat adiknya yang selalu menggampangkan segala hal.

Hazel mendekat dengan membawa nampan dan mangkuk di atasnya. "Nih, bubur."

"Bubur? Tadi gue udah makan bubur."

"Ini buatan gue. Cobain, deh," pintanya. Hazel meletakkan nampan di atas nakas, mengambil mangkuknya, kemudian duduk di atas kasur berhadapan dengan Theon yang tengah bersandar. "gue masak sendiri, lho."

"Emang lo bisa hidupin kompornya?" cibir Theon, mengingat waktu itu Hazel kesulitan menghidupkan kompor ketika gadis itu lapar di tengah malam.

"Bisa, dong. Kan waktu itu lo yang ajarin," akunya bangga.

"Kapan gue ngajarin lo?"

Hazel melempar bola matanya ke arah atas. Gadis itu baru ingat waktu itu bukan Theon yang mengajarinya, tapi dia hanya memperhatikan cara Theon menghidupkan kompor.

"Ah, udahlah. Gak penting." Hazel mengibas-ngibas tangannya. "sekarang lo cobain. Mau gue suapin atau makan sendiri?"

Theon mengambil mangkuk di tangan Hazel sebagai jawaban bahwa dia akan memakannya sendiri. "Kalo gak enak awas, ya!" Theon pura-pura mengancam.

"Pasti enak. Cobain dulu, makanya."

Theon tersenyum tipis menanggapi Hazel. Cowok itu langsung melahap sesendok bubur bersemangat. Tapi, ekspektasi dengan realita tentu berbeda.

Bubur yang Hazel masak rasanya seperti gosong bercampur asin karena kelebihan garam. Theon mengernyit sambil melirik Hazel. Ditatapnya wajah polos penuh harap dari adiknya itu. Hal itu membuat Theon tak sampai hati untuk mengatakan yang sebenarnya. Sambil berpura-pura menikmati buburnya, Theon mengangguk-angguk dan menyuap sesendok bubur lagi ke mulutnya.

"Gimana? Enak, kan?" tanya Hazel penuh harap.

Theon tersenyum manis, menampakkan kedua lesung pipinya. "Enak."

"Tuh, kan! Gue udah bilang!" Hazel menjentikkan jarinya bangga. "soalnya mama bilang, gue pinter bikin bubur."

"Mama siapa?"

"Mama gue. Mama Lily."

"Oh ya?" Theon melahap sesendok bubur lagi. Keputusan Theon untuk berpura-pura antusias dengan bubur masakan Hazel mungkin adalah pilihan yang tepat. "Kapan mama lo bilang gitu?"

"Ehm ... waktu gue kelas sebelas. Waktu itu mama minta tolong gue untuk masak nasi, terus pas nasinya udah jadi, mama bilang, 'Wah! Kamu pinter bikin bubur!'" ceritanya dengan sombong seraya meniru cara bicara ibunya kala itu.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang