40. Keberanian

949 86 8
                                    

Mata gadis itu terbuka perlahan. Sinar matahari yang baru terbit menyusup melalui celah gorden kamarnya yang terbuka separuh. Menghantarkan cahaya hangat yang menyorot wajah tenang kakaknya yang juga tengah berbaring di sampingnya.

Kelopak mata itu masih tertutup. Tangan mereka saling menggenggam satu sama lain. Menyadari posisinya itu, debaran jantung Hazel kian memacu.

Sepagi ini jantungnya sudah berdetak lebih cepat dari detak jantung orang yang berolahraga. Hazel ingin sekali mengumpat atas perasaannya yang tidak pernah bisa ditahan terhadap kakaknya sendiri. Gadis itu merasa telah melakukan dosa besar karena menyukai kakaknya.

Tapi, bukan dia yang menginginkan perasaan terlarang itu hadir. Sekuat apapun Hazel berusaha untuk mengurung perasaannya, tetap saja rasa itu mendobrak keluar, melawan segala akal sehatnya. Rasa sukanya pada Theon tetap membuncah tak tertahan.

Telunjuk Hazel bergerak menyusuri garis kelopak mata Theon. Garis mata itu terpahat sempurna hasil ciptaan Yang Maha Karya. Di saat bersamaan, Theon membuka mata.

Mereka pun saling bertumbuk pandang. Saling menatap beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa. Sejurus kemudian, Theon tersenyum. Menyuguhkan lesung pipit manis yang selalu mempesona.

"Udah bangun?" tanya Theon dengan suara parau khas bangun tidur yang semakin menggetarkan perasaannya.

Genggaman Theon pada tangan Hazel mengerat. "Jangan ngilang lagi ya? Gue hampir gila karena lo gak bisa dihubungin. Gue gak bisa ngelacak GPS lo karena hape lo mati."

Hazel terdiam. Kemarin dia memang sengaja mematikan ponselnya agar Theon tidak bisa melacak atau menghubunginya.

"Masih marah?" tanya Theon lagi.

Yang ditanya menggeleng pelan.

Theon menyunggingkan senyum senangnya. "Maaf gue udah marah-marah kemarin. Mulai sekarang, gue bakal dukung apapun jalan yang lo pilih. Asalkan lo gak ngambek dan kabur dari rumah lagi. Hm?"

Bibir Hazel terkatup rapat. Entah kenapa gadis itu kecewa akan jawaban Theon yang seperti tidak keberatan atas hubungannya dengan Ken. Theon menyerah terlalu mudah.

Jemari Theon menggeser poni Hazel ke samping. "Lo gak bakal tau segila apa gue nyariin lo kemarin. Gue pikir gue gak bakal ketemu lo lagi," akunya.

"Lebay." Hazel terkekeh. "anak manja kayak gue mana bisa jauh dari rumah kelamaan."

Theon ikut terkekeh. "Anak manja kayak lo bisa aja nyasar di tengah jalan atau hilang diculik orang."

Cubitan kecil dari Hazel di pinggang Theon berhasil membuat cowok itu mengaduh. Dan, mereka pun tertawa kecil. Kemudian, Theon mendekap Hazel masuk ke dalam pelukannya.

Jelas Hazel tidak menolak. Dekapan hangat itu terlalu nyaman untuk dia lepaskan. Dan kalau boleh, Hazel ingin selamanya seperti ini, berada dalam perlindungan kakaknya.

Hazel mendongak. "Semalem ... lo jemput gue pulang?"

Theon membalas tatapan adiknya. "Iya juga ya? Gue sampe lupa nanya sama papa siapa yang nganter lo pulang."

Ternyata Ken, batin Hazel.

Semalam, di pandangan mata sayupnya, Hazel sempat bingung membedakan Theon dan Ken. Matanya terlalu lelah untuk melihat lebih jelas. Jadi, dia mengandalkan pendengarannya. Tapi sialnya, suara mereka pun terdengar mirip.

"Semalem gue terlalu panik. Gue khawatir lo ketiduran di jalan dan diganggu orang jahat," lanjutnya. "lo kan kalo tidur udah kayak beruang hibernasi."

Wajah Hazel merengut kesal. Sedangkan kakaknya hanya tersenyum usil sambil kembali menenggelamkan wajah Hazel ke dadanya.

Hazel mendorong Theon. "Ish! Bau. Mandi sana!"

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang