27. Tersayang

1K 92 11
                                    

"Jadi, waktu gue suruh David dateng nemuin gue, ternyata di waktu yang bersamaan dia harus jemput bibinya sama Dania. Karena gue maksa, David mau gak mau nurutin gue. Akhirnya, David minta mereka untuk nunggu di halte.

"Dan gak lama kemudian, ada mobil yang dalam keadaan ngebut, oleng dan akhirnya nabrak halte. Mobilnya berhasil kabur. Belasan orang jadi korban tabrak lari itu. Tujuh orang meninggal, termasuk bibinya David. Dan, satu orang cacat permanen, Dania."

Setelah mendengar keseluruhan cerita Hazel, barulah Theon memahami kenapa David menyimpan dendam begitu dalam pada adiknya. Dan juga alasan David mengatakan kalau Hazel telah membunuh bibinya. Tapi, tetap saja, hal itu tidak bisa dibenarkan. Menurut Theon, Hazel tidak bisa dinyatakan penyebab meninggalnya Farah dan lumpuhnya Dania.

Hazel kembali menangis. Gadis itu benar-benar tertekan. Dia merasa bersalah atas hal yang tidak pernah dia lakukan. Sebenarnya itu sangat tidak adil. Theon melihat bahwa adiknya hanya dijadikan pelampiasan kekesalan David semata karena kehilangan orang yang dia sayangi.

"Lo gak salah, Zel," cetus Theon. "lo gak salah."

Hazel menatap Theon penuh makna.

"Lo gak punya kendali atas itu. Gue yakin kalo lo tau apa yang bakal terjadi ke depannya, lo gak akan maksa David untuk dateng. Tapi, lo juga manusia. Lo bukan Tuhan yang tau semuanya. Bibinya David emang udah tertulis harus meninggal dalam keadaan begitu, makanya Tuhan buat skenario sedemikian rupa supaya hal itu terjadi.

"Rejeki, jodoh, umur, takdir ... itu semua Tuhan yang nentuin. Kalo Tuhan maunya bibinya David masih hidup, dia bakal selamat," tukas Theon, membungkam sanggahan Hazel. "lo gak perlu nangis. Biar gue ke rumah David untuk bilang kalo dia gak berhak nyalahin lo sampe sebegininya."

Theon tidak main-main dengan ucapannya. Dia bangkit dari bangku panjang taman di komplek perumahan tempat David tinggal. Namun, Hazel menahannya, lalu menggeleng.

"Masalah gue sama dia udah selesai, kok."

"Selesai?"

"Gue udah minta maaf sama dia. Dan, lo tau apa?" Hazel menjeda. "dia juga nangis."

Menangis? Seseorang berhati keras seperti David bisa menangis di depan seorang gadis? Tidak mungkin!

"Gue tau lo gak akan percaya. Tapi, gue gak bohong. Dia beneran nangis. Gue baru sadar kalo David ternyata juga manusia biasa yang punya perasaan. Sekuat apapun gue berusaha untuk gak ngerasa bersalah, gue tetep gagal. Gue emang salah. Kesalahan gue itu, gue asal terima perasaan dia sampe dia punya harapan penuh sama gue. Dan, di ujung, gue campakin dia begitu aja. Gue terlalu jahat, Yon."

Bukan masalah jahat atau tidak jahat. Bagaimana juga, Hazel tetap tidak bisa disalahkan. Theon menilik manik sendu itu. Keceriaan pada mata hazel itu seakan lenyap tak bersisa hanya karena seorang yang bernama David. Semenyedihkan apapun kisah hidup David, Theon tetap tidak bisa terima adiknya diperlakukan tidak adil.

"Makasih, lo udah perhatian sama gue," ucap Hazel, memecah lamunan Theon. "gue bersyukur Tuhan kasih gue kakak yang baik, sabar, perhatian, dan penyayang kayak lo. Maaf selama ini gue udah jahat sama lo. Lo gak dendam sama gue, kan? Kalopun iya, gue harap lo bisa secepetnya lupain dendam lo ke gue, karena gue bener-bener minta maaf."

Dendam bagaimana? Mana bisa Theon mendendam pada adiknya sendiri. Theon pun menggeleng. Hazel membalasnya dengan senyum lega. "Seharusnya dari dulu gue juga bilang kayak gini ke David," sesal gadis itu.

"...."

"Masalah gue sama David udah clear," lanjutnya. "Lo gak perlu pake otot lo lagi untuk babak-belurin David. David cuma terluka. Dia sama kayak lo, Yon. Yang dia butuh cuma kasih sayang dari kedua orangtuanya.

But, You are My BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang