Rahasia Sang Pujangga

8.8K 452 7
                                    

Dari dapur aroma khas pancake yang dipadu dengan lumeran butter menguar. Hasna dengan cekatan menyiapkan piring saji di meja makan untuk sarapan. Selain memanggang pancake, ia sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan Adam.

Konsentrasinya kembali pada pancake yang mulai berwarna keemasan. Namun, tiba-tiba kecemasan kembali menguasai pikirannya. Suara wanita yang menelepon Ilham semalam kembali terngiang. Awalnya ia pikir salah sambung, tapi wanita itu jelas sekali menyebut nama suaminya. Bahkan sepertinya wanita itu tahu Ilham sedang bersamanya.

Semalam setelah sambungan telepon terputus, layar gawai Ilham langsung terkunci. Meski sangat ingin menyelidiki siapa wanita yang meneleponnya, Hasna tak bisa melakukannya. Ia tak bisa membuka kunci layar karena tak tahu password untuk membukanya. Meski berkali-kali mencoba kombinasi angka dan huruf, Hasna tak kunjung berhasil membukanya.

Walhasil ia tak bisa terpejam semalaman. Ia hanya bisa memandangi wajah lelap suaminya dengan perasaan tak menentu. Jantung Hasna seolah diremas. Sungguh ia tak berani memikirkan kemungkinan buruk yang kini menghantui pikirannya.

Sosok Ilham terlalu baik di matanya. Tak mungkin pria itu tega menyakitinya. Ini pasti sebuah kesalahan! Hasna menghibur dirinya.

Tanpa sadar Hasna membiarkan pancake itu terpanggang terlalu lama hingga aroma lezat pancake berubah menjadi aroma gosong.

"Sayang, pancakenya!" suara Ilham menyadarkan Hasna dari lamunannya.
"Astaghfirullah!" pekik Hasna panik sambil mematikan kompor.

Buru-buru ia menyelamatkan pancake yang sudah berwarna gelap itu ke atas piring. Hasna meringis melihat pancake gosong di hadapannya. Ia pasti benar-benar melamun sampai-sampai lupa dengan masakan di hadapannya.

"Kamu lagi mikirin apa sih? Serius banget sampe-sampe pancakenya gosong begitu? Mikirin aku?" goda Ilham.

Hasna hanya menatap suaminya dengan datar. Biasanya ia akan tersenyum tersipu dan mencubit mesra Ilham tiap kali digoda seperti itu. Tapi tidak kali ini. Suasana hatinya sedang sangat buruk untuk merespon godaan Ilham. Bahkan rasa sebal kini mulai menjalari perasaannya. Meski berusaha menepis sangkaan buruk pada suaminya, tapi tetap saja Hasna tak bisa menampik curiga.

"Mas, kenapa sih aku nggak boleh tahu password handphonemu?" Hasna menodong Ilham dengan pertanyaan, sesaat setelah sang suami membuang pancake gosongnya ke tempat sampah.

Ilham mendelik kaget. Ia tak menyangka akan ditanya seperti itu.

"Buat apa? Kupikir kita sudah sepakat untuk saling percaya dan menghargai privasi masing-masing, ya kan?" jawab Ilham santai sambil menarik kursi meja makan. Ia pun mulai menikmati sarapannya yang selamat dari kegosongan.

Hasna tak puas dengan jawaban suaminya. Sejak awal menikah, mereka memang sepakat untuk saling percaya dan menghargai privasi. Tapi kejadian malam tadi membuat Hasna mempertanyakan kembali alasan suaminya menjaga privasi, bahkan dari istrinya sendiri.

"Kita sudah berbagi hal yang paling privasi di ranjang, Mas. Kupikir tak ada alasan bagi kita untuk menyembunyikan apapun dari pasangan kita. Bukankah justru itu yang menumbuhkan kepercayaan di antara kita?" tuntut Hasna lagi.

Ilham berhenti mengunyah sarapannya dan menatap kedua bola mata istrinya. Jelas sekali ada kegundahan di sana.

"Ada apa sih, Sayang? Sebelumnya kamu nggak pernah mempermasalahkan ini," tanya Ilham.

Hasna memalingkan pandangan. Ia terdiam. Ada keraguan dalam dadanya. Ia tak tahu bagaimana memulai. Tapi ia sadar, hanya ada satu cara untuk menghilangkan kepenasarannya.

"Mas, semalam ...,"

Drrt drrt

Dering gawai Ilham berirama dengan kencang menandakan ada panggilan masuk. Ilham segera menjawab panggilan itu. Setelah bicara beberapa saat ia menutup teleponnya.

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang