Pagi mulai menyapu dinginnya malam. Kabut putih menyisakan bening embun di dedaunan. Kicau burung menyambut merdu mentari yang perlahan merangkak naik. Para santri terlihat memulai kesibukan pagi, sarapan lalu membersihkan sekeliling bilik-bilik mereka. Beberapa telah bersiap untuk bekerja di kebun belakang rumah. Sementara itu, Hasna terlihat berpamitan dengan Ummi Kulsum. Ia sudah tak sabar ingin menjemput Adam.
“Kamu nggak nunggu Ilham dulu?” tanya Ummi.
“Kasihan Adam, Ummi. Aku nggak tega ninggalin dia lama-lama. Biar aku dan Mas Ilham bicara di rumah,” jawab Hasna.
Hasna baru saja mencium tangan Ummi ketika tiba-tiba kakinya ditubruk dan dipeluk oleh seseorang bertubuh kecil. Suara tangis yang dikenal Hasna pun menggema di telinga.
“Adam?” Hasna terbelalak melihat Adam menangis sambil memeluk kedua kakinya, “Kamu kok ada di sini, Nak? Ya Allah, Bunda kangen.”Segera digendongnya bocah berambut kriwil yang ia rindukan sejak kemarin. Dihujaninya bocah itu dengan ciuman dan pelukan. Bulir hangat satu-satu jatuh membasahi pipi Hasna. Rasa bersalah dan rindu campur aduk menjadi satu dalam dadanya.
“Maafin Bunda ya, Nak. Bunda pergi sebentar.” Belum selesai melepas rindu, Hasna dikejutkan dengan sesosok pria tegap yang sedari tadi berdiri tak jauh dari mereka. Sosok yang ia tangisi. Sosok yang ia temui dalam mimpi malam tadi.
“Aku menelepon Shinta kemarin. Aku langsung menjemputnya subuh tadi dan langsung ke sini.” Ilham terlihat tampan dengan sweater abu dan celana jeans berwarna terang. Namun, terlihat jelas di wajahnya, ia tak tidur semalaman. Bola mata coklatnya kuyu dan memancarkan kesedihan. Hasna memalingkan pandangannya. Ada gejolak dalam hatinya yang belum bisa ia kendalikan.
“Adam, cucu Eyang masya Allah, Eyang kangen sama kamu, Nak. Kita lihat kelinci yuk di belakang rumah. Mau? Yuk, Sayang.” Ummi merayu Adam agar ikut dengannya. Meski sempat tak mau, Adam berhasil dibujuk Ummi.
Kini tinggal Ilham dan Hasna yang berdiri mematung di ruang tamu. Keduanya terpaku tak bersuara. Seolah membeku dalam ragu. Seribu kata yang dirangkai malam lalu menguap begitu mereka bertemu. Terperangkap dalam rasa bersalah, Ilham berusaha membuka suara,
“Maafkan aku….”
Sejurus kemudian air mata kembali menganaksungai di pelupuk netra milik Hasna.
“Maafkan aku tak jujur padamu,” lanjut Ilham lirih, “Aku… aku takut kehilanganmu, Hasna. Tak ada wanita yang rela dimadu, aku tahu. Tapi, aku tak punya pilihan…”“Dan Mas memilih berbohong dan menjadikan aku madu, begitu?” potong Hasna cepat.
Ilham terdiam. Ia mengulum bibirnya dan membuang pandangan ke jendela. Otaknya berpikir keras berusaha menemukan kata yang bisa menjelaskan semua tanpa harus menyakiti wanita yang ia cinta di hadapannya. Ia pun tak menemukan apapun selain kebuntuan.
“Maafkan aku…”
“Sudah berapa lama Mas menikahi wanita itu sebelum bertemu denganku?” selidik Hasna sambil menahan perih dalam hati.
“Tujuh tahun,” jawab Ilham jujur.
Ia sadar tak ada pilihan lain selain menceritakan semua kebenarannya pada Hasna. Maka, ia pun menguatkan diri dan bersiap menerima luapan emosi. Ia tak mau memikirkan kemungkinan terburuk, Hasna akan meninggalkannya karena ini. Itu akan benar-benar menghancurkan perasaannya jika terjadi. Ilham berusaha menjaga api pengharapannya agar tak padam.
“Kau perlu tahu bahwa pernikahanku dengan Airin bukan keinginanku,” sambung Ilham.
Hasna terkejut. Ia tak mengira kalimat tadi akan didengarnya dari bibir Ilham. Ia pun kemudian terpana dengan penjelasan Ilham setelahnya. Suaminya itu bercerita bahwa almarhumah Ibunya meminta ia menikahi Airin sebagai bentuk balas budi. Ibunya Airin pernah menyelamatkan Ibunya Ilham saat terkena serangan jantung di jalan. Seijin Allah saat itu Ibunya Ilham terselamatkan. Setelah pulih, keluarga mereka jadi dekat.
Suatu saat Ibunya Ilham mengutarakan niatnya untuk menjodohkannya dengan Airin. Awalnya Ilham mengaku menolak, tapi tiba-tiba Ibunya jatuh sakit. Cukup parah. Ibu Ilham pun berwasiat ingin melihatnya menikah dengan Airin sebelum meninggal. Ilham akhirnya tak sanggup menolak.
Pandangan Ilham menerawang. Satu-satu kenangan berjejalan ke dalam memorinya. Setelah menghela napas panjang, ia pun melanjutkan,
“Bahkan Ibu membuatku bersumpah bahwa apapun yang terjadi aku tak boleh menceraikan Airin. Alasannya? Karena ia pernah merasakan pedihnya perceraian. Ia tak mau aku atau siapapun merasakan kepedihan yang sama. Tak lama setelah aku menikah, Ibu meninggal.” Ilham berhenti sejenak. Sayup-sayup suara tawa Adam di pekarangan belakang beradu dengan sedihnya memori masa lalu.
“Tujuh tahun aku dan Airin menikah, kami tak kunjung mempunyai anak. padahal semua ikhtiar medis dan non medis telah kami lakukan. Keharmonisan kami mulai goyah padahal aku sangat ingin memiliki anak. Lalu aku bertemu denganmu,” lanjut Ilham sambil menatap Hasna dengan lekat.
“Aku jatuh cinta padamu, Hasna. Menikahimu adalah episode paling bahagia dalam kehidupanku. Bahkan, Allah menganugerahkan Adam lewat rahimmu. Sempurna kebahagiaanku. Meski tak ingin menduakanmu, tapi aku terikat sumpah. Aku tak bisa meninggalkan Airin. Maaf, aku tak punya pilihan.”
Terjawab sudah. Teka-teki alasan Ilham berpoligami. Hasna masih tercenung di tempatnya berdiri, berusaha mencerna apa yang baru saja diutarakan suaminya. Meski enggan menerima, Hasna menyadari tak mudah bagi suaminya untuk lari dari guratan takdir. Takdir yang mengharuskannya setia pada sumpah. Pun takdir cinta yang membuat hati mereka bertiga berkelindan dalam sebuah simpul kusut rumah tangga.
“Maafkan aku, Hasna… kau boleh memarahiku. Kau boleh benci pada keputusanku. Tapi, ingatkah janji sakral kita dulu? Anna uhibbuki fillah, Hasna. Karena Allah, aku mencintaimu. Karena Allah aku akan berjuang mempertahankan cinta kita, “ lirih Ilham.
Nanar di matanya penuh dengan bening pengharapan, “Bersabarlah denganku… Demi Allah aku butuh kamu, Hasna,” Ilham mengiba. Belum pernah ia merasa begitu tak berdaya. Raut wajahnya menunjukkan perasaan takut. Takut kehilangan harta paling berharga dalam hidupnya.
“… Adam butuh kita,” sambungnya dengan suara bergetar.
Tak lama langkah kecil terdengar berlari memasuki ruang tamu.
“Adam,” panggil Ummi yang kewalahan mengejar cucunya. Terlambat. Adam kini sudah berada di kaki bundanya. Dengan suara lenguhan yang melengking, ia menarik lengan bundanya, memaksanya mendekati Ilham.
Tubuh mungil Adam diangkat oleh Ilham. Kini mereka berdua menatap Hasna dengan pandangan mengiba. Adam merengek berusaha menggapai Bundanya yang terlihat gamang. Tangan mungilnya ia angkat ke udara, berharap sang Bunda meraih dan mendekat padanya.
“Kumohon pulanglah …,” pinta Ilham.
Hasna tak sanggup menahan perasaannya. Pelupuk matanya kembali tergenang. Satu-satu bulir hangat membasahi wajahnya yang semu memerah. Melihat dua orang yang paling ia kasihi mengiba, sungguh meluluhlantakkan egonya. Perlahan ia melangkahkan kakinya mendekat. Diraihnya jemari Adam lalu mengeluskannya ke wajah dan menciumnya berkali-kali.
'Kupasrahkan diriku pada takdir cinta-Mu, Ya Rabb. Kuatkan aku….'
***
Bruk!
Dalam sebuah ruangan remang sebuah album foto jatuh berdebum ke lantai kayu. Debu-debu dari sampulnya beterbangan membuat siluet berbentuk asap. Terpampang dalam lembarannya foto-foto tua yang berjamur.
Sebuah foto usang dipegang oleh jemari-jemari putih dan ramping. Tiba-tiba foto itu ikut bergetar seiring dengan tangan yang memegangnya. Aura kebencian sangat kental tergambar dari wajah pemilik jemari ramping itu.
“Kau. Tak kusangka kau hadir kembali dalam hidupku. Kali ini takkan kubiarkan kau merenggut kebahagiaanku lagi!” desis wanita itu.
Sedetik kemudian ujung foto usang itu dilalap api di sebuah gelas kaca. Paras cantik seorang gadis berseragam SMA perlahan mulai menghitam. Sebuah nama tertulis di bagian bawah foto
Hasna Alexandria Pratama
***
(Bersambung)#JDA_Part5
Terima kasih sudah membaca JDA. Kisah ini akan tayang tiap Selasa dan Sabtu 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN DUAKAN AKU
RomanceDunia Hasna serasa runtuh saat mengetahui bahwa dirinya adalah istri kedua dari suaminya, Ilham. Konflik meruncing karena cemburu menderu dan dendam masa lalu. Satu-satu ujian, godaan dan fitnah menggoreskan pilu. Akankah tiga cinta padu dalam syahd...