Dua dan Duka

8.4K 444 2
                                    

"Dia tidak berselingkuh denganku! Dia itu suamiku yang sah! Akulah istri pertamanya! Kamu yang selingkuhan!” 

Mendengarnya Ilham menghardik Airin sambil melotot,

“Airin! Jaga mulutmu! Dia juga istriku!”

Dunia Hasna seolah runtuh mendengarnya. Ia hampir tak bisa merasakan kakinya sendiri. Matanya bergantian memandang Ilham dan wanita itu. Hasna menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Pandangannya telah berkabut oleh buliran duka yang mulai menganak sungai. Perlahan ia melangkahkan kakinya mundur ke belakang. Ia tak sanggup menghadapi ini. Dengan berjuta kekalutan Hasna membalikkan badannya dan berlari meninggalkan mereka.

“Hasna … Hasna!

***

Mobil Hasna terparkir di sebuah jalanan sepi. Entah sudah berapa kali, ia hampir saja kehilangan kendali mobilnya tadi. Teriakan klakson dan cerca pengemudi kendaraan lain yang hampir celaka gara-gara dirinya, tak ia pedulikan. Sampailah ia kemari, ke tempat di mana ia dulu menyepi, membasuh luka, dan menemukan cahaya untuk gelapnya hati.

Setelah menyeka kedua mata dan berusaha menguatkan diri, perlahan ia turun dari mobil. Aroma rumput dan wangi bunga krisan langsung menyapa indera penciumannya. Angin dingin khas perbukitan melambaikan khimar biru yang ia kenakan. Rindu menelusup dalam hatinya. Tak sabar ingin segera bertemu sosok itu. Sosok yang dulu telah menyelamatkan hidupnya dari kehancuran. Sosok yang jadi perantara hidayah untuk hijrah dari kegelapan. Sosok yang selalu bisa menetralkan gundah, menjadi pencerah akan setiap masalah. Sosok pengganti orangtuanya yang telah tiada.

Langkah kaki Hasna menelusuri jalan setapak menanjak ke arah sebuah rumah di kaki bukit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkah kaki Hasna menelusuri jalan setapak menanjak ke arah sebuah rumah di kaki bukit. Jejeran bunga krisan berwarna fuchsia dan kuning memanjakan netranya di sepanjang jalan. Andai saja dukanya bisa ia tenggelamkan di antara indahnya pemandangan bunga. Namun sayang, pemandangan itu malah menambah duka, karena mengingatkannya akan pria yang paling sering menghadiahinya keindahan bunga. Pria yang sempurna di matanya. pria yang membuainya dengan candu asmara. Pria yang sama yang melukainya dengan dusta dan hati yang mendua.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Hasna. Dari Shinta. Ia setuju untuk menjaga Adam hingga esok hari. Hasna belum memberitahu sahabatnya itu tentang apa yang terjadi. Ia hanya meminta kesediaan Shinta untuk menjaga Adam sampai ia menjemputnya besok. Sesaat setelah membalas pesan Shinta dengan ucapan terima kasih, wajah Ilham muncul di layar. Sedari tadi Ilham menghujani ponselnya dengan dering pesan dan panggilan. Tak satupun ia gubris. Segera Hasna mematikan ponsel dan melanjutkan langkah. Hatinya masih terlalu perih untuk melihat apalagi berbicara dengan Ilham.

Pertahanan Hasna runtuh saat sosok yang ia tunggu menyambutnya dengan pelukan hangat seperti biasa. Ummi Kulsum, kakak perempuan dari ayahnya itu, terheran-heran melihat keponakannya langsung tergugu di pelukannya.

“Hasna, ada apa?” tanya Ummi Kulsum sambil mengusap-usap punggung Hasna.

Hasna menjawab, bukan dengan kata, tapi dengan isak yang makin tertumpah.  Ummi akhirnya membiarkan Hasna menangis dan tetap memeluknya, sambil sesekali mengusap punggung Hasna. Ia paham bahwa kadang ketika emosi bergejolak, seorang perlu menumpahkan rasa hingga lega sebelum bicara. Sambil mendaras istighfar Ummi menenangkan Hasna.

  “Adam baik-baik saja kan?” tebak Ummi khawatir.

“Mas Ilham Umiii…,” jawab Hasna gemetar di antara sedu sedan.

***

Sementara itu di kediaman Hasna dan Ilham, seorang lelaki terlihat gelisah. Sosok tegapnya mondar-mandir di ruang tengah. Wajah tampannya terlihat gundah.  Sesekali ia memijit dahinya, menahan cemas yang semakin memerangkap pikirannya. Ia kembali menekan tombol panggil cepat menghubungi istrinya yang entah di mana. Nihil. Suara operator berkali-kali menjawab bahwa nomor istrinya sedang tidak aktif.

'Ya Rabb, kemana istriku? Di mana kamu Hasna?'

Ilham sungguh tak percaya hari ini akan tiba. Hari di mana rahasia besarnya terbongkar. Rahasia yang ia simpan rapi bertahun-tahun dari Hasna. Rahasia yang ingin ia tutupi selamanya dari Hasna. Ia baru sadar, ternyata terlalu naïf untuk berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. Sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan jatuh juga. Sepandai-pandainya ia berusaha menjaga rahasia, akhirnya jatuh terkena batunya.

Ilham kini terduduk di sofa. Dipandanginya seisi rumah mewah yang biasa ia tinggali bersama Hasna dan Adam. Rumah yang setiap sudutnya menyimpan kenangan penuh cinta dan penuh canda. Lebih dari keluarga cemara, mereka adalah potret keluarga yang sempurna, berkelimpahan cinta serta harta. Anak istimewa yang kadang menguras air mata justru makin mengokohkan tali cinta mereka.

Kini semua terlihat sendu tak bernyawa ketika dua belahan jiwanya tak ada di sana. Hanya dingin dan senyap yang meraja menghiasi sudut rumah. Hati Ilham disusupi penyesalan. Ia berandai-andai; andai Hasna yang ia pinang pertama kali. Takkan pernah ada ruang bagi wanita lain dalam hatinya. Namun, takdir berkata lain. Sebelum berjumpa dengan Hasna, ia telah lama menikahi Airin.

Ponsel Ilham berdering. Dilihatnya wajah  cantik Airin di layar. Entah kenapa ia merasa jengah. Ia berharap istrinya yang lain yang menghubunginya. Untuk beberapa saat Ilham mengabaikan panggilan Airin. Namun, deringnya tak kunjung berhenti. Ilham pun terpaksa menjawab panggilan itu.

“Mas, kamu kok tega sih ninggalin aku? Sekarang kan jatahku. Kamu harus nemenin aku,” rengek Airin.

“Rin, aku khawatir sama Hasna. Dia nggak ada di rumah. Adam pun nggak ada. Aku nggak bisa hubungi dia. Aku takut ada apa-apa sama dia dan Adam. Kamu ngerti dikit, lah,” jawab Ilham.

“Mas tuh ya, selalu lebih mentingin wanita itu daripada aku! Kamu nggak adil, Mas! Mentang-mentang aku nggak bisa punya anak! Tega kamu, Mas….” Sayup terdengar isak Airin di seberang sana.

Ilham memejamkan matanya. Kecemasan, rasa bersalah, pilu beradu menghantam kepalanya. Bayangan Hasna dan Adam menyapa matanya yang terpejam. Sementara itu, Airin tetap merengek di seberang sana.

“Oke oke. Aku balik lagi ke rumah. Tapi aku harus menelepon seseorang dulu, Ok? Berhenti menangis.”

Setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Airin, Ilham segera menekan kontak yang sudah lama tak ia hubungi. Ia menyesali diri. Kenapa baru sekarang ia ingat.

“Assalamualaikum Ummi…”

***

(Bersambung)

Terima kasih sudah mampir membaca JDA. Insya Allah kisah ini akan update tiap Selasa dan Sabtu ya. 😊🙏

#alianastory
#JDA_Part3

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang