🌿
(Restoran A-Maze, Bandung)
“Airin.”
Untuk kesekian kalinya Ilham memanggil nama itu, berharap agar sang pemilik nama mau menyambut tangan Hasna. Meski agak kikuk, Hasna manut saat Ilham mengajaknya untuk makan malam bersama Airin di restoran untuk pertama kalinya. Malam ini Hasna terlihat feminin. Ia mengenakan gamis berbentuk dress berwarna hijau pastel dengan scarf berwarna hijau tua dengan motif floral yang lembut.
Hasna memutuskan untuk berdamai dengan keadaan serta bersabar dengan takdir cinta segitiga halal di antara dirinya, Ilham, dan Airin. Namun, melihat ekspresi wajah Airin yang dingin, membuat Hasna sedikit jengah. Uluran tangannya sebagai tanda perkenalan pun, tak kunjung disambut Airin. Hasna mulai menyesali keputusannya datang ke sini.
“Airin, kita sudah sepakat untuk mencoba berdamai dengan keadaan. Please,” pinta Ilham lagi.Airin tak kalah cantik dengan dress hitam selutut tanpa lengan yang memamerkan lekuk tubuh langsingnya. Setengah hati Airin menyambut tangan Hasna dan menjabatnya sekejap. Ekspresi wajahnya masih sama dingin dan datar. Aura kecanggungan masih sangat kentara di antara mereka bertiga. Ilham menghela napas dan berusaha mencairkan suasana dengan mengajak mereka mengobrol. Namun, dua istrinya nampak tak tertarik untuk mengobrol. Mereka hanya berdehem dan menjawab pendek-pendek. Keduanya sibuk dengan hidangan khas Eropa di hadapan mereka.
Sesekali Hasna mencuri pandang pada Airin. Entah kenapa wajah Airin terlihat familier. Ia mengingat satu nama dari masa lalu yang kebetulan sangat mirip dengan nama Airin. Tapi, Hasna tak yakin dengan dugaannya. Sosok di hadapannya memiliki karakter fisik yang lebih memesona dari pada sosok masa lalu yang ia pikirkan.
Saat makanan habis, Hasna ijin untuk pergi ke kamar kecil. Ia sudah tak sabar ingin pergi dari situasi canggung yang membuatnya tak nyaman itu. Setelah membersihkan diri dan merapikan riasannya, Hasna merasa enggan untuk kembali ke meja. Ia pun berjalan ke arah taman A-Maze, menikmati pendaran lampu hias, dan obor yang ditata di antara pepohonan dan semak bunga.
Hasna sedang menghirup udara malam yang bercampur dengan semerbak harum bunga, saat tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya dari belakang,
“Kau benar-benar tidak mengenaliku, ya?”
Hasna membalikkan badannya. Ia melihat seorang wanita yang sejak tadi berusaha ia hindari berdiri di hadapannya, dengan dua tangan masih terlipat di dada. Ekspresi wajah cantik dan sinisnya masih tak berubah.
“Maksud kamu?” tanya Hasna.
Airin tersenyum sinis dan melangkah mendekat.
“Aku tak percaya. Kau benar-benar tak mengenaliku lagi. Kurasa perubahanku memang terlalu banyak. Dulu aku agak gemuk, kulitku kusam dan gelap, rambutku selalu kuikat karena keriting tak beraturan.” Airin sedikit tertawa saat melanjutkan, “Haha, belum lagi kacamata minus, besar dan konyol itu. Masak kamu lupa padaku, Anna?”
Hasna bak disambar petir, saat mendengar nama panggilannya waktu SMA disebut oleh Airin. Tak ada yang tahu nama panggilan itu kecuali mereka yang pernah kenal dengannya di SMA Trisula. Hasna membelalakkan mata. ia mencoba melihat wajah Airin lebih saksama. Membayangkannya berkulit gelap dengan rambut terikat dan kacamata.
Benar! jerit Hasna dalam hati.
“Airin?! Jadi ini benar kamu?! SMA Trisula?!” Mata Hasna seolah mau melompat keluar. Ia benar-benar tak percaya bahwa wanita di hadapannya adalah Airin yang selama ini ia cari.
“Ya itu aku. Aku yang dulu kamu bully, yang kamu fitnah dengan keji!” suara Airin meninggi. Matanya memancarkan kebencian. Dadanya bergemuruh menahan amarah yang sudah belasan tahun terpendam.
Bak disabet pedang tajam, Hasna merasakan perih dalam dadanya saat mendengar Airin mengungkit masa lalunya yang kelam. Sesal menjalar ke seluruh tubuhnya. Dingin ia rasakan hingga ke tulang. Keringat dingin mulai meluncur pelan dari dahinya. Ia dilanda kebingungan. Permintaan maaf seperti apa yang harus ia ucapkan?
“Airin… aku… aku benar-benar minta maaf…,” dengan gemetar Hasna membuka suara, “Aku sadar apa yang kulakukan sangat jahat. Aku… aku benar-benar menyesal….”
“Bull****! Aku tak akan pernah menerima permintaan maafmu! Kau tak tahu hidupku saat SMA serasa di neraka, gara-gara kau! Kau tahu rasanya dibully dan dipermalukan hampir tiap hari, huh?!” Airin setengah berteriak.
Beruntung alunan musik di restoran mengaburkan suara seteru mereka di taman.
Hasna memejamkan matanya. Bulir-bulir air mata mulai keluar dari sana. Perih di dadanya semakin bertambah. Ia sudah lupa rasanya dibentak seperti ini. Rasanya seperti ada sembilu yang ditusukkan ke telinga dan membuat sesak di dada. Namun, ia tak lupa bahwa dulu ia pun sering membentak orang-orang di sekelilingnya. Bayangan dirinya berseragam SMA dan membully Airin dan yang lain berkelebat dalam pikiran, membuat sesal dalam dadanya semakin menyiksa.
“Kumohon maafkan aku, Airin… aku benar-benar menyesal… “
“Kejam! Kau memfitnahku dengan kejam! Aku dikeluarkan dari sekolah dan dicap maling, gara-gara kau! Aku tak diterima sekolah di manapun karenanya. Kau tahu apa yang terjadi setelah itu? Aku terpuruk. Ayah dan ibuku bersedih. Saking sedihnya, penyakit Ayahku kambuh, ia… ia… ia harus meregang nyawa karena kami tak mampu membiayai pengobatan…,” Airin tiba-tiba terisak mengingat kepedihan masa lalunya.
Lutut Hasna lemas mendengarnya. Air matanya semakin membanjir mengaburkan pandangan. Samar-samar ia melihat Airin tertunduk dan menangis tersedu. Rasanya Hasna ingin memukul dirinya sendiri, mengetahui betapa dahsyatnya penderitaan yang dialami Airin gara-gara ulah jahatnya. Rasanya permohonan maaf seperti apapun takkan sanggup mengusir duka Airin.
Perlahan Hasna berusaha mendekat. Ia berusaha menyentuh bahu Airin. Ingin rasanya ia memeluk wanita di hadapannya untuk sedikit melegakan kesedihannya. Namun, Airin menepisnya dengan kasar. Wajahnya kini ternoda eyeliner yang luntur karena air mata.
“Maafkan aku Airin…,”
“Aku tak butuh maafmu!” Airin mendorong Hasna, “Kembalikan masa mudaku! Kembalikan nama baikku! Kembalikan masa mudaku! Kembalikan Ayahku!” Airin histeris. Air mata bercampur gelapnya eyeliner hitam masih membanjiri wajahnya. Ia mendorong-dorong Hasna hingga terjerembab ke tanah.
“Setelah kau hancurkan masa mudaku, sekarang kau mau merenggut satu-satunya cintaku, huh?! Aku takkan membiarkanmu. Aku akan membalas semua pedih yang pernah kau timpakan padaku. Aku akan merebut Ilham darimu, catat itu!” Mata Airin melotot. Hasna masih mencoba untuk meminta maaf. Namun untuk kesekian kali, permohonan maafnya tak digubris.
“Camkan ini, Anna. Nestapa yang kau tanam, nestapa yang kau tuai!”
Airin melangkah pergi.
(Bersambung)
***
Terima kasih sudah membaca JDA. Kisah ini akan tayang tiap Selasa dan Sabtu ya. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN DUAKAN AKU
RomanceDunia Hasna serasa runtuh saat mengetahui bahwa dirinya adalah istri kedua dari suaminya, Ilham. Konflik meruncing karena cemburu menderu dan dendam masa lalu. Satu-satu ujian, godaan dan fitnah menggoreskan pilu. Akankah tiga cinta padu dalam syahd...