Bukan Satu-satunya

5.6K 387 37
                                    

🌿

Sebuah mobil sedan meluncur pelan di boulevard rumah sakit bernuansa putih dengan aksen cat berwarna toska. Di balik kemudi, Hasna mengamati gedung yang ia taksir memiliki belasan lantai ke atas. Dengan pelindung kaca jendela kehijauan serta tanaman hias menjuntai di pinggiran balkon, rumah sakit ini terlihat asri. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang teduh, ia mengajak Adam untuk turun.
.
Ini adalah kali kedua Hasna menginjakkan kaki di sini bersama Adam. Sebelumnya mereka ke sini bersama Ilham. Ilham memutuskan untuk memindahkan terapi sensori integrasi Adam dari klinik Fahri ke klinik tumbuh kembang yang baru. Ia benar-benar serius ketika mengultimatum Hasna dan Adam agar jauh-jauh dari dokter itu.
.
Hasna sangat terkejut kala itu. Ia juga mempertanyakan alasan larangan yang tiba-tiba itu. Malam itu Ilham hanya menjawab dengan wajah serius dan tatapan  yang menusuk sambil berkata,
.
"Aku punya firasat buruk tentangnya. Dia memang sahabatmu tapi aku suamimu. Aku tak suka kalian dekat-dekat dengannya. Jauhi dia. Itu perintah."
.
Hasna jelas tak puas dengan jawaban Ilham malam itu. Berkali-kali ia menanyakan kembali, Ilham hanya menegaskan hal yang sama.
.
Esoknya Ilham resmi mendaftarkan Adam  untuk terapi SI di tempat baru. Sebelumnya ia sempat mendatangi klinik Fahri dan meminta salinan catatan program perkembangan Adam selama di sana. Beruntung Fahri tak ada di sana. Jika iya, ketegangan yang pernah terjadi di kafe Braga takkan terelakkan.
.
Saat assessment pertama, Adam terlihat gelisah dan menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan belakang. Matanya nanar seperti tak nyaman dengan tempat baru. Begitu seorang terapis menemuinya, ia mulai menggeleng-geleng, menangis dan  berteriak.
.
Adam terlihat tak nyaman dengan tempat barunya. Meski tempatnya luas dan terapisnya ramah, ia merasa asing di sana.
Hasna dan Ilham hanya bisa menahan sedih, kala itu.
.
Ilham meyakinkan Hasna untuk mencoba lagi. Maka, di sinilah ia mengajak Adam kembali, berharap kali ini Adam mau lebih kooperatif.
.

 Maka, di sinilah ia mengajak Adam kembali, berharap kali ini Adam mau lebih kooperatif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hasna menggandeng tangan Adam dan memasuki lobi rumah sakit berlantaikan marmer. Hawa dingin penyejuk ruangan langsung menyapa tubuh mereka. Hasna baru saja  akan berjalan ke arah lift saat Adam tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya dan berlari keluar.
.
"Adam!"
.

Decitan rem dan erangan klakson membahana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Decitan rem dan erangan klakson membahana. Hasna menahan napas dengan mata terbelalak saat melihat Adam nyaris saja tertabrak mobil yang sedang melintasi depan lobi. Beruntung mobil itu berhenti tepat beberapa sentimeter dari tubuh Adam.
.
Hasna bergegas mengangkat tubuh putranya yang jatuh  terduduk karena kaget. Dengan gemetar dan beruraian air mata ia memeluknya. Jantungnya seolah berhenti berdetak, melihat apa yang baru saja terjadi. Seolah separuh nyawa akan ikut tercerabut jika sampai mobil itu melukai Adam.
.
.
Mereka dikerumuni orang-orang yang bersimpati. Beberapa petugas medis yang lewat bahkan sempat memeriksa Adam. Bersyukur Adam tak tergores sedikit pun. Tangisannya saja yang terdengar memilukan.
.
"Ya Allah, Astaghfirullah ... Kamu kenapa, Nak? Kenapa tiba-tiba lari?"
.
Adam menjawabnya dengan tangisan. Naluri Hasna menerka putra semata wayangnya itu tak ingin berada di sana. Masih sedikit syok, Hasna pun memutuskan untuk membawa Adam pulang. 
.
"Mas, Adam kayaknya nggak mau ada di sana. Pemindahan ini sepertinya bukan ide yang bagus." Malam itu Hasna menceritakan apa yang terjadi pada Adam di tempat terapi barunya. Ilham terdiam. Egonya tersentil. Namun, ia juga khawatir pada Adam.
.
"Dia hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Kamu ingat waktu kita bawa dia terapi pertama kali? Dia memang selalu berontak, kan? Beri dia waktu," pungkas Ilham.
.
Hasna sudah terlanjur emosional. Baginya pemindahan ini tidak perlu dan sangat menyulitkan, terutama  untuk Adam.
.
"Hari ini Adam hampir tertabrak. Apa Mas nggak merasa mengorbankan dia demi kecemburuan Mas yang ... yang sama sekali nggak berdasar?" Hasna tak percaya ia berani mengatakan itu di hadapan Ilham. Dari awal  ia memendam keberatan atas keputusan itu.
.
Raut wajah Ilham berubah. Sedikit menegang karena tersinggung oleh perkataan istrinya.
.
"Tak berdasar katamu?" Dahi Ilham berkerut. Alisnya nyaris tertaut. "Sore itu dia menemuiku dan mengancam akan merebutmu dariku. Dia bahkan berani bilang bahwa aku bukan satu-satunya ... "
.
Kalimat Ilham tertahan.
.
Bukan satu-satunya.
.
Kalimat itu sungguh menampar. Sebuah kesadaran yang menyisakan pahit. Menyakitkan. Bukankah ia juga telah membuat Hasna 'bukan satu-satunya' wanita yang ia cinta. Pahit yang ia rasakan kini, bukankah telah ia timpakan lebih dulu -- pada Hasna.
.
"Kuminta padamu," lanjut Ilham berusaha menelan kepahitan yang tadi ia rasakan, "jauhi dia atau aku akan berpikir bahwa memang ada sesuatu antara kau dan Fahri."

"Mas!" Hasna tak terima menjadi tertuduh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
"Mas!" Hasna tak terima menjadi tertuduh.
.
"Kalau kau memang tak ada rasa padanya, maka akan mudah bagimu menjauhinya, kan?" tantang Ilham.
.
"Dia itu sahabatku sejak lama, Mas. Fahri tak mungkin seperti itu."
.
"Aku tak ingin berdebat, Hasna. Lakukan saja yang kuminta."

***

Mematuhi Ilham selama ini tak terlalu sulit bagi Hasna. Ia sadar kewajibannya sebagai  seorang istri, salah satunya adalah tidak menyelisihi perintah suaminya, selama perintah itu tak melanggar aturan syar'i.
.
Namun, entah kenapa, kali ini terasa berat. Hasna tak begitu yakin mana yang membuatnya berat hati. Larangan menemui sahabatnya atau pemindahan terapi Adam.
.
Mungkinkah Ilham salah paham pada Fahri?
.
Siang itu Hasna sedang menemani Adam bermain di taman sekolah, sesaat setelah kelasnya usai. Hasna memandangi kontak Fahri di layar ponselnya. Ia ingin penjelasan dari Fahri.
.
Jemarinya seolah beku dalam kegamangan. Jika ia menekan kontak itu atau mengirim chat, apa itu artinya ia melanggar perintah Ilham?
.
"Bu Hasna?" Lamunan Hasna buyar ketika sekuriti sekolah memanggilnya.
.
"Iya, Pak," jawab Hasna sambil mengalihkan pandangan dari ponselnya.
.
"Itu ada yang nyari Bu Hasna sama Adam." Sekuriti berkumis tebal itu menunjuk ke arah gerbang sekolah.
.

Hasna mengenali sosok tampan berkemeja navy itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hasna mengenali sosok tampan berkemeja navy itu. Pria yang sedang ia pikirkan -- yang seharusnya tak ada di sini.
.
"Fahri?"

***

(Bersambung)

🌿🌿🌿

Maafkan, update nggak sesuai jadwal 😂🙏🏻. Something happened di dunyat yang bikin saya nggak bisa nulis.
.
Terima kasih udah setia menanti #JDA. Insyaallah mulai Sabtu kembali ke jadwal biasa. Update tiap Selasa dan Sabtu.
.
Doakan sehat jiwa raga biar bisa terus up JDA, yes? 😊
.
Happy maljum 🤭

#JDA_Part19
#alianastory

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang