TITIK BALIK

6.6K 312 3
                                    


(Tahun 2000)

‘Airin… Ini pasti karena Airin …,’ gumam seorang gadis gempal, melihat nasib nahas yang menimpa teman satu gengnya, Hasna.
Teman-teman gadis itu saling pandang dan bergidik ngeri. Bulu kuduk mereka meremang. Hati mereka diliputi rasa takut. Takut nasib buruk juga akan datang pada mereka karena telah membantu rencana jahat Hasna menyingkirkan Airin. Tak pernah mereka sangka, hal tragis menimpa Hasna, tak lama setelah ia memfitnah dan mendepak Airin dari sekolah.

Hasna harus kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah insiden kecelakaan pesawat. Bersamaan dengan itu seluruh aset keluarga Hasna disita Bank karena perkara hutang bisnis perusahaan. Hasna jatuh miskin dan sebatang kara dalam waktu sekejap. Beruntung Ummi Kultsum, bibi dari sang ayah, bersedia mengurusnya. Ia pun masih diijinkan sekolah di Trisula dengan beasiswa. Namun, teman-teman satu gengnya menjauhi Hasna. Menurut mereka Hasna sudah tak layak lagi masuk geng elit mereka, karena ia tak lagi kaya.

Hasna dilanda stres berat. Seluruh dunianya jungkir balik, lebur di hadapannya. Semua yang ia banggakan hilang bagai debu. Hasna tak terlalu dekat dengan orang tuanya, karena mereka sibuk, terlalu perfeksionis, dan sering mengkritik dengan keras. Meski begitu tetap saja Anna kehilangan mereka. Orang tuanyalah yang menyokong seluruh identitas hi-class dirinya.

Kini semua hilang. Ia jadi sama miskin dengan orang-orang yang dulu ia bully.
Di sekolah ia tambah stress dan tak sanggup mengikuti pelajaran karena malu dan sedih dijauhi teman-teman. Ia memang tak punya teman lain di Trisula selain geng elitnya. Penampilan yang biasa kinclong kini berganti lusuh dengan wajah kuyu.

Bahkan Hasna sempat mogok sekolah karena sudah tak semangat lagi menjalani hidup. Ia pun tak nyaman harus tinggal dengan Ummi Kultsum di rumah yang menurutnya jauh dari kata mewah. Meski Ummi sangat baik, Hasna belum bisa mengusir kesedihannya. Ia masih sering menangisi takdirnya.

“Apa Allah sedang menghukumku, Ummi?” isak Hasna suatu sore di hadapan Ummi.

“Allah itu sesuai dengan persangkaan hambanya. Kalau kamu berprasangka buruk pada Allah maka buruklah yang kau dapat. Tapi kalau kamu mau berprasangka baik pada Allah, baik pula yang kamu dapat,” Ummi meraih teko porselen di meja di sebelahnya dan menuangkan wedang jahe untuk Hasna,

“Maksud Ummi?” tanya Hasna sambil menikmati wangi khas jahe yang menguar dari cangkirnya.

“Gini lho, Allah itu nggak pernah iseng menakdirkan sesuatu. Semua yang ditakdirkan Allah mengandung pelajaran berharga. Begitu juga yang Allah takdirkan untukmu. Dan yakinlah pelajaran itu penting dan untuk kebaikan kamu. Nah, sekarang coba deh kamu renungkan, kira-kira pelajaran apa yang ingin Allah sampaikan padamu?” Ummi mengajak keponakannya itu untuk merenung.

Hasna langsung menunduk. Yang terpampang nyata dalam pikirannya adalah sikap sombong dan jahatnya selama ini pada orang yang ia benci. Dadanya langsung sesak begitu teringat Airin. Gadis miskin dan lugu yang telah jadi korban bullynya bertahun-tahun. Bahkan ia dengan keji memfitnah dan membuatnya terusir dari sekolah.

Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Airin yang hanya anak tukang becak harus menerima kejahatannya waktu itu. Tiba-tiba hatinya pedih dibanjiri penyesalan. Satu-satu air matanya tumpah dari pelupuk netra. 

Hasna menggigit bibir, membiarkan wajahnya diterjuni oleh bah air mata. Pertanyaan Ummi bagai belati yang menusuk tepat ke dalam jantungnya. Lidahnya kelu tak mampu membuka suara. Setelah tragedi yang menimpa dirinya, Hasna mulai sadar betapa jahatnya sikap dia selama ini.

Titik terendah dalam hidupnya membuat ia mampu melihat dan merasakan hal yang dulu tertutup tabir kesombongan. Dulu ia mabuk dalam kelenaan elit hingga bersikap jemawa karenanya. Kekerasan fisik, kritik pedas bertubi, kurangnya waktu dan kasih sayang yang diberikan kedua orangtuanya membuatnya tumbuh jadi pribadi pembully. Ia sering menyakiti agar tak tersaingi, agar merasa percaya diri. Dan Airin jadi korban kejahatannya yang terparah.

“Aku jahat sekali, Ummi….” Hasna tersedu, “Aku jahat sekali…."

Hasna rubuh dalam pelukan Ummi. Bahunya berguncang menahan sesal yang mendera seluruh jiwanya. Allah mencabut semua nikmat yang ia sombongkan agar egonya yang mengawang angkasa kembali ke bumi. Agar jiwanya kembali punya hati dan melihat dengan nurani.

Butuh waktu bagi Hasna untuk menata perasaannya. Namun, sore itu menjadi titik balik bagi Hasna. Perlahan ia menafakuri kehidupannya sebelum ini. Kental dengan hedonisme. Tenggelam dalam nafsu duniawi. Uang dan kesenangan adalah Tuhannya dulu. Berlimpah materi namun jiwanya kering dan gelisah. Sungguh ia jauh dari Allah dan agamanya sendiri.

Di rumah Ummi, ia melihat dan merasakan sesuatu yang tak pernah ia temukan di rumahnya dulu. Cinta dan kedamaian. Semua serba sederhana namun semua disyukuri dengan sepenuh jiwa. Tak ada bentakan ataupun teriakan. Yang ada hanyalah kesantunan dan pengertian. Petuah- petuah menyejukkan dari Ummi yang bersumber dari kitab suci dan hadist kini menerangi hari-hari Hasna. Tak ada lagi galau pun gundah. Semua kini Hasna jalani penuh dengan kepasrahan pada takdir Rabbnya. 

Ia juga sudah meminta maaf pada orang-orang yang dulu pernah ia bully. Ini adalah salah satu fase hijrah yang harus ia tempuh. Karena ia sadar bahwa dosanya takkan diampuni jika ia belum meminta maaf pada mereka yang pernah ia sakiti. Namun, tinggal satu orang yang maafnya belum ia kantongi.

(Bersambung)

  Terima kasih teman-teman sudah membaca. Kisah ini akan tayang tiap Selasa dan Sabtu ya.

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang