Antara Dingin dan Bara

12.2K 409 107
                                    

🌿

Tak seperti malam-malam yang lalu, malam ini Airin terjaga. Tubuh rampingnya terbalut gaun tidur satin berwarna violet. Tak merebahkan diri, ia justru duduk termenung dengan mata menerawang. Selimut berwarna marun menutupi setengah tubuhnya. Sementara itu, dalam selimut yang sama, di sampingnya Ilham terlelap. Malam ini adalah gilirannya untuk ditemani Ilham. Seperti biasa mereka menghabiskan waktu bersama dan bermesraan. Namun, malam ini ada sesuatu yang membuat mata Airin tak ingin terpejam.
Diremasnya sebuah buku bersampul biru yang sedari tadi dalam genggaman. Buku yang dipinjamkan Daniel padanya tempo hari.
.
Sesuatu bertumbuh dalam hati Airin setelah membaca buku itu. Sesuatu  yang tak pernah ia duga akan hadir. Sesuatu yang akan menjadi cikal bakal dari terwujudnya sebuah mimpi. Sesuatu yang berani.
.
Dalam remang lampu kamar tidur, pandangan Airin kini terpaku pada wajah di sampingnya. Wajah khas yang membuatnya jatuh cinta. Sejak pertama bahkan hingga kini mahligai sucinya terbelah dua.  Pemilik wajah itu yang membuatnya membumbung ke angkasa juga yang melesakkannya ke jurang lara dengan mendua. Sejak mencintai Ilham, Airin mulai percaya bahwa cinta itu buta. Buta terhadap luka. Meski perih menganga, tetap saja ia jatuh cinta dan tak sanggup terpisah.
.
Jemari ramping Airin menyentuh mesra wajah suaminya. Sebuah pengharapan membuncah dalam dadanya. Jika ia berhasil melakukan apa yang ada dalam pikirannya saat ini, mungkin ia akan bisa membuat Ilham lebih mencintainya.
.
Belaian Airin memberikan sensasi geli yang membuat Ilham perlahan terbangun.
.
"Kok belum tidur?" tanya Ilham dengan suara samar. Tangan Airin yang tadi membelainya, ia raih perlahan dalam genggaman.
.
Airin mengulum senyum.
.
"Nggak bisa tidur, Mas. Aku lagi kepikiran sesuatu," desis Airin pelan.
.
"Sesuatu?" tanya Ilham penasaran. Kantuknya berangsur menghilang melihat keseriusan di wajah istri pertamanya itu.
.
"Mau mengulang yang semalam?" goda Ilham sambil mengecup jemari yang ia genggam.
.
Rona merah bersemburat di pipi Airin yang menghangat. Ia pun tertawa kecil sambil menyembunyikan wajahnya yang tersipu.
.
"Ih, bukan! Si Mas geer banget, sih!" Airin menarik jemarinya dari genggaman Ilham. "Aku lagi mikirin sesuatu yang serius."
.
Ilham memposisikan dirinya duduk bersandar di samping Airin. Diliriknya sebuah buku bersampul biru yang tergeletak di antara mereka.
.
"Ada hubungannya sama buku ini?" Ilham meraih buku tebal itu. Judulnya membuat Ilham tersentak tak percaya. Mencari jawaban, ia memandang kedua bola mata Airin.
.
"Iya, Mas. Sudah lama aku merenung semenjak membaca buku itu. Seperti judulnya  aku ingin merasakan keajaiban itu ...," jawab Airin pelan. Matanya kembali menerawang. "Orang-orang dalam buku itu telah membuktikan, bahwa dengan memaafkan, Tuhan mengijinkan keajaiban datang dalam hidup mereka. Beberapa diantaranya bahkan berhasil punya momongan, Mas."
.
Saat Airin menjelaskan, Ilham bisa melihat pendar yang tak biasa dalam bola mata istrinya itu. Pendar serupa binar-binar pengharapan.
.
"Mungkin sudah waktunya, Mas ... Aku sudah lelah hidup dalam kebencian. Aku ... Aku ingin belajar melupakan masa lalu dan ... "
.
Ada jeda cukup lama tercipta. Bulir bening berjatuhan dari sudut mata Airin. Ia menghela napas cukup panjang dan memejamkan mata sebelum melanjutkan,
.
"... memaafkan Hasna ... juga berdamai... dengan keadaan kita."
.
Ilham tak percaya akan apa yang baru saja diutarakan Airin. Ia tak menyangka kalimat itu akan benar-benar keluar dari istri pertamanya itu. Dendam masa lalu yang pahit serta suami yang harus ia bagi membuatnya selama ini mengibarkan bendera perang dengan Hasna. Madu sekaligus musuh bebuyutannya dari masa lalu.
.
"Aku tahu ini takkan mudah ... tapi ... Aku mau mencoba, Mas. Siapa tahu, dengan ini, Tuhan mengabulkan doa kita, dan memberikan anak yang selalu kita impikan." Airin menyeka air matanya dan menyentuh perut rampingnya. Ia bosan melihatnya ramping. Ia ingin melihatnya membesar. Membesar dan menjadi tempat tumbuh buah cintanya dengan Ilham.
.
Ilham benar-benar tersihir dengan ucapan Airin. Untuk sesaat ia hanya mematung dengan bibir sedikit terbuka, masih tak percaya hari ini telah tiba. Hari yang ia doakan dalam sujud-sujud panjangnya. Hari di mana Airin melunakkan hati. Hari di mana konflik panas antara dua istrinya akan dingin dan mereda.
.
Ilham menyentuh kedua pipi Airin dengan dua telapak tangannya. Perlahan ia menyeka sisa-sisa air bening di sudut mata dan pipi Airin.
.
"Itu luar biasa, Sayang. InsyaAllah, Allah mengabulkan doa kita."
.
Sejurus kemudian sebuah kecupan mendarat di kening Airin. Ia pun direngkuh ke dalam pelukan.

JANGAN DUAKAN AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang